Rabu, 03 Oktober 2012

Wajah Retak Masa Depan Kita

Wajah Retak Masa Depan Kita
Lilik HS  ;  Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS)
SINAR HARAPAN, 02 Oktober 2012


Senin (24/9), Alawy Yusianto Putra baru beberapa bulan duduk di bangku SMAN 6, tewas terkapar di aspal Jalan Bulungan, Jakarta Selatan. Ia baru menyelesaikan soal-soal ujian lantas makan siang di warung dekat sekolah.

Nahas, serombongan pelajar dari SMAN 70 menyerang. Alawy mencoba lari menjauh, terjatuh dan sabetan celurit segera merobek dadanya. Alawy, berusia 16 tahun, meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Di televisi, dalam upacara pemakaman keesokan harinya, sang ibu bersimbah air mata sambil mendekap foto putra bungsunya. Tauri Yusianto, ayahnya, jatuh pingsan sesaat sebelum jenazah dikuburkan.

Selang dua hari, Rabu (26/9), Suyanti histeris menangisi putra semata wayangnya, Deni Januar, siswa SMA Yayasan Karya 66, Jakarta Timur yang tewas saat terlibat tawuran di Manggarai, Jakarta Selatan. Deni, masih 17 tahun, lagi-lagi nyawanya meregang dengan sabetan senjata tajam mengoyak dadanya.

Penghujung Agustus 2012, seorang kakek bernama Rahiman berniat menghindari tawuran pelajar SMA yang pecah di daerah Klender, Jakarta Timur. Lintang pukang ia berlari menyeberangi rel kereta api.

Nahas, tak dilihatnya kereta commuter line yang tengah melaju kencang dari arah belakang. Seketika tubuhnya tersambar kereta. Mati. Rahiman baru datang dari kampungnya di Karawang, hendak mengais rezeki sebagai tukang cukur keliling di Pasar Klender.

Beringas

Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, di wilayah Jabodetabek saja jumlah kasus tawuran pada 2012 mencapai 103 kasus, dengan jumlah korban meninggal 17 anak. Angka tersebut naik dari angka pada tahun sebelumnya yang sebesar 96 kasus, dengan jumlah yang meninggal sebanyak 12 anak. 

Ada anak-anak belasan tahun meregang nyawa. Ada anak-anak belasan tahun lainnya dengan sadar dan bangga meringkus nyawa teman sebayanya. Tawuran, selalu menyisakan sesak sekaligus pertanyaan yang terus berulang: apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang salah?

Berbagai komentar pejabat, politikus, akademikus, orang tua hingga sesama anak muda segera meluncur acap merebak berita tawuran. Sistem pendidikan yang keliru, hanya mengedepankan kemampuan akademis, tak diimbangi dengan pendidikan budi pekerti.

Sistem politik yang beringas, rebutan kursi dengan cara-cara korup dan manipulatif. Ekonomi berbiaya tinggi dan lapangan kerja yang semakin sulit. Budaya instan dan konsumtif yang terus diguyurkan dari kotak televisi yang menerjemahkan “hiburan” melulu dengan tontonan serba gemerlap, wangi, dan menggantang mimpi.

Baiklah. Tak ada yang keliru dengan bermacam pendapat di atas. Tapi, apa yang salah ketika dari bulan ke bulan frekuensi tawuran tak juga berkurang, bahkan kini nyaris selalu disertai nyawa meregang di aspal jalan?

Kita masyarakat yang tengah dirundung gelisah dan nyaris putus asa terhadap berbagai kenyataan hidup. Sekolah yang mendidik anak-anak kita adalah subordinasi dari sistem sosial politik yang begitu kusutnya.

Negara sebesar ini, nyaris lumpuh ketika berhadapan dengan persoalan yang berulang, tawuran pelajar atau parade kekerasan sejumlah ormas dengan dalih menertibkan kemaksiatan. Wajah keberingasan adalah wajah yang kita tonton sehari-hari.

Di jalan raya, orang yang baru beranjak dari rumah selepas sembahyang subuh, selepas mencium kening anaknya, di jalanan bisa seberingas serigala hanya lantaran mobilnya serempetan dengan motor.

Di televisi, mulai sinetron hingga tayangan berita, adegan mata melotot dan timpuk-timpukan adalah kelaziman dunia layar kaca.

Belum lagi baku pukul dan drama caci maki di sejumlah talkshow yang disaksikan jutaan pasang mata. Semua berlangsung begitu saja. Tanpa ada rasa jengah dan rasa bersalah. Itulah yang ditonton anak-anak kita. Terekam dalam ingatan mereka sejak belia.

Paradoks

Kita memang hidup di negara yang serba-paradoks. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dipuji-puji sebagai pahlawan devisa, tapi pada saat yang sama mereka ditelantarkan hak-haknya. Perempuan, dijunjung tinggi sebagai “tiang negara”, tapi pada saat yang sama disahkan perda-perda (peraturan daerah) yang justru mendiskriminasi dan menikam hak-hak privatnya.

Anak-anak muda disanjung sebagai generasi penerus bangsa dan pada saat yang sama, negara tak menyediakan ruang bagi para penerus ini bertumbuh secara sehat sesuai perkembangan jiwa dan raganya.

Pemimpin negeri, seperti biasanya, lebih gemar sibuk sendiri. Tak ada solusi konkret, komprehensif dan visi jauh ke depan. Toh, jabatan hanya lima tahunan. Mereka lupa bahwa pembawa tampuk estafet kelak adalah anak-anak kita ini.

Anak muda, fisiknya tengah mekar-mekarnya, tentu butuh lapangan bola dan lapangan futsal, bukan mal. Anak muda, jiwanya tengah dibuai berjuta imajinasi, tentu butuh panggung-panggung ekspresi untuk berkarya: drama, tari, musik, film, olahraga, tapi negara lebih suka menambah deretan apartemen di tengah kota.

Wajah beringas anak-anak kita adalah wajah retak sistem pendidikan kita, sistem politik kita, sistem sosial ekonomi kita. Wajah retak diri kita sendiri. Jika mau melihat wajah negeri ini di masa depan, lihatlah wajah anak-anak kita sekarang ini. Masihkah menganggap tawuran ini masalah sepele?

◄ Newer Post Older Post ►