Minggu, 14 Oktober 2012

Vonis Tipikor dan Advokat Hitam


Vonis Tipikor dan Advokat Hitam
Agus Nurudin ;  Advokat di Semarang
SUARA MERDEKA, 13 Oktober 2012




"Patut dipertanyakan jika banyak putusan pengadilan membebaskan terdakwa yang diduga kuat korupsi"

KHAZANAH ilmu hukum tidak mengenal istilah advokat hitam, demikian juga Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Yang ada, istilah advokat sebagai profesi terhormat dan mulia (officium nobile). Dalam perkembangannya, ketika makin banyak orang sadar hukum, sebagian orang justru salah kaprah memandang profesi advokat, bahkan menuding mereka yang membela terdakwa korupsi sebagai advokat hitam.

Sejatinya tidak pernah ada advokat membela koruptor. Hal itu mendasarkan fakta bahwa setelah seseorang dinyatakan bersalah melakukan korupsi oleh pengadilan barulah dia bisa dan boleh disebut koruptor. Hanya melalui putusan pengadilanlah seseorang bisa dan boleh disebut koruptor setelah terbukti secara meyakinkan melakukan korupsi.

Sebelum ada keputusan itu, advokat mendampingi dan membela kepentingan terdakwa kasus korupsi, terkait kesamaan hak dan kewajibannya dengan orang lain di muka hukum (equality before the law). Yang terpenting lagi adalah agar pengadilan proporsional menjatuhkan putusan kepada seorang terdakwa.

Kenyataannya, ketika ada advokat mendampingi dan membela kepentingan klien yang didakwa korupsi maka ada sebagian masyarakat, bahkan kalangan kaum intelektual tertentu, menyebutnya sebagai advokat hitam. Ketika seseorang didakwa korupsi dan ternyata putusan pengadilan menyatakan dia tidak bersalah, kondisi itu merupakan salah satu bagian dari putusan pengadilan.

Kita perlu memahami putusan pengadilan hanya dua: bersalah atau tidak bersalah. Tak ada putusan pengadil yang bersifat seri (draw), seperti halnya pertandingan olahraga. Patut dipertanyakan jika putusan pengadilan kebanyakan menghukum seseorang karena diduga korupsi, agar tidak diartikan bahwa pengadilan adalah lembaga yang menjustifikasi dipenjaranya seseorang.

Ada asas hukum menyebutkan res iudicata pro veritate habetur, yakni ''sesuatu'' diajukan ke pengadilan supaya mendapat kebenaran''. Juga patut dipertanyakan jika banyak putusan pengadilan membebaskan terdakwa yang diduga kuat korupsi. Seyogianya antara putusan bersalah dan tidak bersalah, seimbang meskipun tak persis sama seperti persentase 50:50.

Jadi, pengadilan tipikor tetap harus proporsional dan profesional menjalankan tugas. Proporsional berarti dalam menjatuhkan putusan tidak mendasarkan pada kecenderungan-kecenderungan tertentu, baik pengaruh kekuasaan maupun uang. Adapun profesional berarti  sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, tanpa tendensi tertentu.    

Jika banyak orang yang diduga kuat korupsi kemudian dinyatakan bebas oleh putusan pengadilan maka tidak serta-merta hal itu karena advokat melakukan segala cara agar kliennya memenangi persidangan.

Bentuk Kekecewaan

Penyebutan advokat hitam merupakan salah satu bentuk kekecewaan kalangan tertentu yang tidak puas atas warna-warni putusan pengadilan, khususnya pengadilan tipikor, terhadap berbagai kasus korupsi di Indonesia.

Jika banyak putusan pengadilan tipikor membebaskan terdakwa korupsi maka banyak aspek yang harus dicermati, antara lain bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan dalam persidangan tentang adanya perbuatan tindak pidana korupsi, sudahkah tepat pasal-pasal yang digunakan jaksa KPK untuk menjerat terdakwa.

Aspek lain yang juga harus dicermati adalah fakta-fakta hukum dalam persidangan, dan yang tidak kalah penting adalah keyakinan hakim tipikor akan adanya tindak pidana yang nyata-nyata merugikan keuangan negara.

Masyarakat seyogianya memahami asas yang menyebutkan quod non est in actis, non est in mundo, yaitu ''apa yang tidak ada dalam laporan berarti juga tidak ada di dunia''. Pemaknaannya adalah hakim hanya memperhatikan berkas-berkas perkara, adapun masalah-masalah lain di luar itu tidak menjadi perhatiannya. Konsekuensi logisnya, ketika ada kekeliruan dalam pemberkasan perkara korupsi maka hal itu bisa berdampak pada putusan yang menguntungkan terdakwa.

Advokat sungguh-sungguh mencermati faktor tersebut, apakah telah sesuai dengan prosedur hukum, hukum acara pidana, atau belum. Ketika ada indikasi kesalahan prosedur dalam beracara, pasti advokat berusaha supaya tidak merugikan kliennya yang diduga korupsi. Bagaimanapun, advokat mempunyai standar penilaian, keyakinan, dan harapan tersendiri ketika mendampingi kliennya dalam persidangan.

Meskipun demikian, ada kemungkinan advokat menjalankan profesi keluar dari pakem, menghalalkan segala cara dalam rangka memenangkan kliennya. Namun hal itu tidak berdiri sendiri, artinya terkait dengan penegak hukum lain, terutama hakim, jaksa, dan polisi. Tindakan advokat seperti itu tak bisa dibenarkan, dan mungkin masyarakat menyebutnya advokat hitam. Sebenarnya istilah itu keliru, lebih tepat advokat yang menghitamkan profesi. ●

◄ Newer Post Older Post ►