Jumat, 12 Oktober 2012

Verifikasi Partai Politik: Problem atau Solusi?


Verifikasi Partai Politik: Problem atau Solusi?
Jeffrie Geovanie ;  Sekretaris Majelis Nasional Partai NasDem
SINDO, 12 Oktober 2012


Keharusan verifikasi faktual bagi semua partai politik yang hendak mengikuti proses pemilihan umum (pemilu) ternyata tidak mudah untuk dijalankan. 

Hingga kolom ini ditulis,menurut keterangan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik, semua partai politik belum memenuhi persyaratan sebagaimana yang diharuskan dalam undang-undang. Kerumitan muncul terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan kewajiban verifikasi bagi semua partai politik, termasuk partai politik lama yang sebelum ada keputusan MK sudah merasa aman.

Dengan keputusan ini,MK telah menyelamatkan kualitas proses penyelenggaraan pemilu dari yangtidakadil—karenaadaperlakuan yang tidak sama terhadap semua partai politik— menjadi adil. Jika prinsip keadilan diabaikan dengan kekuatan undang-undang,kualitas pemilu akan sangat rendah. Tapi, upaya MK menjaga keadilan dalam pemilu tampaknya membuat partai-partai (terutama partai lama) seperti dibangunkan dari tidur nyenyak.

Partai-partai lama yang sebelumnya sudah merasa siap seratus persen, atau bahkan ada yang sudah berleha-leha tinggal menunggu datangnya pemilu, dipaksa harus kembali sigap sehingga banyak di antaranya yang tampak gagap. Mereka merasa tiba-tiba harus menghadapi proses verifikasi yang relatif ketat. Kegagapan tak hanya dihadapi partai politik, KPU sebagai penyelenggara pemilu pun mengalami hal yang sama karena dari awal lembaga ini tampaknya “hanya” siap untuk memverifikasi partaipartai baru sesuai ketentuan undang-undang sebelum ada keputusan MK. Pada saat harus memverifikasi semua partai politik, ada tambahan beban yang berlipat- lipat sehingga membutuhkan tenaga, pikiran, dan kecermatan ekstra.Padahal jika tidak siap, KPU bisa dikecam dan dinilai tidak profesional.

Masalah Krusial

Dalam proses verifikasi, ada beberapa masalah krusial yang masih dihadapi partai politik. Pertama, perihal masa berlaku dokumen kepengurusan partai dan ketentuan-ketentuan administratif lainnya. Masih banyak di antara partai yang hanya memiliki dokumen lama yang dianggap tidak sah oleh KPU.Atau dokumen baru, namun tanda tangan pengesahannya tidak sesuai ketentuan KPU. Kedua,selain soal masa berlaku kepengurusan, masa berlaku perjanjian atau sewa kontrak kantor yang ditempati pun pada umumnya tidak sampai masa penyelenggaraan pemilu berakhir.

Kalau hanya satu-dua kantor, mungkin bisa diatasi dengan mudah. Tapi, jika semua kantor yang ada di seluruh kepengurusan, tentu akan menjadi beban yang berat bagi partai politik. Ketiga,soal ketentuan komposisi kepengurusan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota yang sekurangkurangnya 30% perempuan. Walaupun ketentuan affirmative action dalam memberdayakan perempuan di bidang politik ini sudah ada sejak periode pemilu sebelumnya, toh masih banyak partai politik yang belum memenuhinya sehingga dianggap belum memenuhi syarat oleh KPU.

Keempat, yang tidak kalah rumit adalah soal sebaran kepengurusan partai yang harus memenuhi ketentuan 75% di tingkat kabupaten/kota pada setiap provinsi, dan 50% pada tingkat kecamatan pada setiap kabupaten/kota. Kalau untuk tingkat provinsi, tampaknya semua partai sudah bisa memenuhinya 100% (33 provinsi). Kelima,apakah suatu partai politik bisa dinilai berakar atau tidak juga menjadi masalah yang krusial.Jumlah lampiran kartu tanda anggota (KTA) partai yang harus memenuhi seribu di satu kabupaten/ kota,atau satu perseribu dari jumlah penduduk di satu kabupaten/kota ternyata masih menjadi beban berat untuk sebagian partai politik.

Gejala Individualisasi Politik

Mengapa partai politik mengalami kerumitan pada saat mengikuti proses verifikasi? Ini bukan semata-mata persoalan teknis, melainkan bukti dari makin menguatnya gejala individualisasi politik. Kita tahu, partai politik merupakan cermin dari pelembagaan politik kolektif.

Di dalam partai politik, semua aktivis dan anggota yang terlibat di dalamnya dituntut untuk bekerja bersama-sama membangun keadaban politik dengan berpedoman pada ideologi, platform, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), serta ketentuanketentuan lain yang merupakan produk dari kesepakatan bersama. Diakui atau tidak, liberalisasi politik yang meniscayakan pemilihan langsung dalam menetapkan kepala daerah (pilkada), dan pemilihan langsung dengan sistem suara terbanyak dalam penetapan anggota legislatif terpilih, telah memperkuat gejala individualisasi politik.

Mekanisme pemenangan pemilu bergeser dari mesin partai pada pesona individu.Maka itu,dalam proses pilkada misalnya signifikansi fungsi partai politik boleh dikatakan “hanya” pada proses pemenuhan persyaratan administratif. `Selain dalam pilkada, menguatnya gejala individualisasi politik juga karena sistem suara terbanyak dalam penetapan pemenang pemilu legislatif. Para calon legislatif merasa lebih dituntut bekerja untuk memenangkan dirinya ketimbang memenangkan partai sebagai institusi.

Arena persaingan menjadi lebih kompleks, tak hanya antarkandidat yang berbeda partai politik, tapi di internal anggota partai pun terjadi persaingan ketat. Pola persaingan individual inilah yang membuat konsolidasi partai sedikit terabaikan sehingga saat ada keharusan untuk melakukan konsolidasi, banyak partai politik yang tidak siap.Para aktivis pekerja partai dituntut untuk berperan ganda, memenangkan dirinya secara individual, dan memenangkan partai politik secara institusional.Tentu ini bukan pekerjaan yang ringan.

Maka itu, keputusan MK, selain untuk memastikan keadilan dalam proses pemilu, juga untuk menguatkan kembali institusi partai politik yang kian tergerus karena gejala individualisasi politik. Dengan demikian, kalau dilihat secara konstruktif, kerumitan verifikasi partai politik seharusnya tidak menjadi problem, tapi menjadi solusi untuk penguatan kelembagaan partai politik.
● 
◄ Newer Post Older Post ►