Minggu, 14 Oktober 2012

Tokoh-Tokoh Yahudi Perusak Pemikiran (2)

Seorang psikolog terlihat resah. Ia diberitahu ada psikolog muslim yang baru saja berhasil menasehati orangtua seorang anak. Pasalnya mungkin tidak sepele, psikolog muslim itu menerima aduan “unik” dari orang tua yang memiliki anak berusia tiga tahun.

Rupanya anak ini memiliki kebiasaan tidak lazim. Ia sering terlihat tidak bisa tenang, mudah meledak dan, juga menyimpan kebiasaan aneh: kerap menggaruk-garuk (maaf) anusnya. Lalu sebagai seorang psikolog muslim, pada orangtua si anak, ia mengatakan bahwa tingkah laku sang anak adalah normal. Dengan ilmu psikologinya, ia menganalisa bahwa perangai itu disebabkan karena anak sedang menjalani tahap perkembangan seksual yang normal pada masa anal. “Itu biasa, bu. Tidak usah khawatir,” begitu kira-kira pesan si psikolog muslim kepada sang ibu.

Mendengar cerita ini, si psikolog tadi tercengang. Ia kaget mendapati seorang seorang psikolog muslim memberi nasehat dengan kata-kata seperti itu. Bagaimana tidak? Nasihat psikolog muslim tersebut nyata-nyata didasarkan pada teori Freud.

Sigmund Freud (1856-1938) adalah psikolog Yahudi yang menyatakan bahwa kepuasaan insting seksual seorang anak pada usia ini diperoleh dengan cara menahan dan mengeluarkan kotoran. Hal itu sedikit banyak membuat anak kerap menggaruk bokongnya berkali-kali sebagai sebuah kenikmatan. Freud memang beranggapan sumber kebahagiaan manusia bukanlah agama, namun seksualitas. Agama justru sebaliknya. Ia adalah ilusi. Ilusi yang sengaja diciptakan manusia dari mimpi-mimpinya. Seperti jika kita berdoa, kita tahu Tuhan tidak terlihat, tapi manusia sengaja “dihadirkan” manusia agar yakin doanya makbul.

Kisah diatas dibacakan oleh DR. Malik Badri pada tahun 1975 dalam rapat tahunan ke-4 Perkumpulan Ilmuwan Sosial Muslim (AMSS) Amerika dan Kanada.DR. Malik Badri sendiri adalah seorang akademisi muslim asal Sudan yang kini mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Kebangsaan Malaysia. Saat itu, secara lantang ia membawakan makalah berjudul “Psikolog Muslim dalam Liang Biawak”. Tulisan itu sendiri mengguncang denyut nadi tiap ilmuwan muslim atas sekularisme yang (secara tidak sadar) melanda mereka.

Kata akademisi yang bulan lalu mengunjungi Indonesia itu, pemakaian kalimat “dalam lubang biawak” sengaja dipakai karena bersumber dari hadis terkenal Nabi Muhammad SAW ketika beliau meramalkan bahwa akan tiba saatnya nanti orang-orang Islam secara membabi buta mengikuti cara hidup orang-orang Yahudi dan Kristen. “Hal ini dengan indahnya diungkapkan dalam pernyataan nabi: bahkan jika mereka masuk dalam lubang biawak sekalipun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya,” tulis DR. Malik Badri pada makalah yang kini telah menjadi buku berjudul Dilema Psikolog Muslim.

Rupanya inflitrasi teori dari seorang pengikut mazhab Hasidisme Yahudi bernama Sigmund Freud itu betul-betul menghabisi harga diri perempuan. Tengoklah pengembangan ide yang digariskannya pada teori (maaf) penis envy (kecemburuan penis) miliknya.

Menurut Freud, anak perempuan pada usia tiga tahun memiliki kecemburuan pada anak lelaki. Mereka berkembang menjadi pribadi minder karena merasa iri tidak memiliki penis layaknya anak laki-laki. Mulai detik itu, kata Freud, perempuan mulai membenci dirinya. Ada perasaan tidak adil meliputi hati tiap wanita cilik. Mereka tidak terima nasib ditakdirkan Tuhan berbeda jenis kelamin dengan pria. Selanjutnya, terang psikologi Yahudi itu, jika hal ini tidak teratasi, anak cenderung menjadi pribadi introvert dan rendah diri pada masa dewasanya. Jadi masa lalu sangat mewarnai kehidupan masa depan.

Tidak hanya itu, Freud juga menguliti kepribadian anak-anak wanita dalam titik terendah. Kata Freud, anak wanita berumur tiga tahun memiliki keinginan untuk meniduri ayahnya, ya dalam arti sebenarnya. Kecintaan besarnya terhadap ayah, membuat anak perempuan diwarisi kedengkian terhadap seorang ibu. Inilah yang kemudian menjadi “sabda” dunia psikologi abad 20 atas apa yang disebut dengan Kompleks Oedipus.

Zakaria Ibrahim dalam bukunya Psikologi Wanita membeberkan fakta yang lebih sadis lagi. Ia menemukan bahwa sebagian psikolog mengklaim proses inilah yang menyebabkan kenapa banyak anak perempuan senang menyiram kebun. Sebab dengan memegang selang air atau gagang penyiram, anak perempuan merasakan seolah-seolah sedang memegang penis dan kencing dengan jarak yang jauh. Pernahkah kita mendengar kisah Havlock Ellis tentang seorang pasien wanita yang tersentak begitu mendengar suara pancuran air mancur? Ya kira-kira seperti itu ide sinting Freud.

Rupanya ide Freud tidak semanis seperti yang ia bayangkan. Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times mengatakan bahwa gambaran Freud tentang diri manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih peradaban Barat. Di Seville, Spanyol pada tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu, termasuk ahli-ahli psikologi, ilmuwan syaraf, ahli genetika, antropolog, dan ilmuwan politik, dan menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah bagi anggapan bahwa manusia seperti yang digambarkan oleh Freud. Freud dinilai mengada-ada dan terlalu memaksakan percepatan kedewasaan psikologis manusia bahwa anak berumur tiga tahun sudah mempunyai birahi tinggi untuk meniduri orangtuanya.

Bahkan Ibrahim al-Jamal, dalam bukunya Penyakit-penyakit hati menemukan temuan yang berbeda dalam oedipus komplek. Menurutnya, suatu kali yang terjadi adalah kebalikan dari skema anak cinta ibu dalam kompleks Oedipus. Selama ini kita kenal bahwa kompleks tak lazim ini berpusat kepada aktivitas erotik sang anak terhadap ibu atau ayahnya. Namun kita tak dapat mengelak ketika yang terjadi adalah tak jarang seorang ibu yang sangat mencintai anaknya, hingga keduanya mengalami problem-problem psikologis.

Inilah gambaran orang yang tidak memiliki iman. Bahwa manusia seperti dikebiri oleh nafsu jasmaninya. Padahal, dalam tiap diri manusia telah tertancap sebuah fitrah. Ia diberi bekal untuk bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Bahkan dengan kesungguhannya ia bisa melawan sifat buruknya.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. 13:28)” (Bersambung)


saya bertemu dengan salah seorang kandidat Doktor Filsafat di Belgorad State University. Beliau menjelaskan pengalaman-pengalaman uniknnya selama tinggal di Rusia. Khususnya pandangannya terhadap seks bebas di Negeri Beruang Merah tersebut.

Pria 40 tahunan itu mengatakan pada saya bahwa Rusia untuk urusan seks tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Karena sepanjang hubungan itu dilakukan suka sama suka, maka tidak akan menuai masalah. Problem baru terjadi ketika cinta dilakukan dengan adanya unsur pemaksaan. “Seperti pemerkosaan,” katanya.

Makanya tidak heran meski ada lembaga pernikahan, tapi gelombang perzinahan betul-betul massif di Rusia. Rusia bukan negeri tanpa agama, tapi mereka bukanlah negara yang menjadikan agama sebagai sumber undang-undang. Kristen sendiri di Rusia bisa jadi mati layaknya di negara Eropa pada umumnya.

Mendengar pernyataan dari Kandidat Doktor Filsafat di Rusia itu, kita tentu ingat nama seorang Tokoh Yahudi bernama Lawrence Kohlberg (1927-1987). Bagi anda yang aktif dalam bidang pendidikan maupun psikologi tentu tidak asing mendengar nama professor di Amerika Serikat tersebut. Ia adalah tokoh kunci di balik maraknya program pendidikan Karaktker.

Perspektif Karakter dalam terminologi Kohlberg memang sangat bermasalah. Bagi pendidikan karakter, anak yang melakukan hubungan seks tidak tergolong dosa sepanjang itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Artinya, jika seorang perempuan hamil karena hubungan haram tersebut, maka sang pacar siap untuk menjadi ayahnya. Jadi Kohlberg mau mengatakan bahwa yang jadi masalah bukan hubungan zina-nya, tapi bentuk tanggung jawabnya. Dalam pemahaman Islam, tentu ini bermasalah.

Islam mengajarkan siapapun yang melakukan perzinahan tanpa didahului hubungan pernikahan, maka dia tergolong dosa besar. Terlepas ia mau bertanggungjawab atau tidak. Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria al-muhshân (belum menikah), maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)”. [An-Nûr/24:2].

Sedangkan pelaku perzinahan yang belum menikah akan dikenakan hukum rajam (dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin. Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anh menjelaskan dalam khuthbahnya :

“Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri”.

Kohlberg sendiri memilki rekam jejak dalam nuansa zionis yang kuat. Ketika perang dunia kedua berakhir tahun 1945, Kohlberg melakukan perjalanan ke Eropa untuk menuntaskan misi pembentukan Negara Israel raya. Dia kemudian mengajukan diri untuk membantu menyelundupkan pengungsi Yahudi keluar dari Eropa dengan melalui blokade Inggris ke Palestina. Atas keberaniannya itu, Kohlberg sempat ditangkap dan ditahan di Siprus. Sebab pengiriman bangsa Yahudi ke Palestina termasuk kejahatan Internasional kala itu. Namun barisan militer Yahudi, Haganah, berhasil menyelamatkan Tokoh Pendidikan Karakter ini. Kohlberg pun berhasil bebas dan kembali ke Amerika pada tahun 1948.

Kohlberg sendiri menemukan ‘ilham’ dalam merancang pendidikan karakter dari Sistem Kibbutz di Israel. Sistem Kibbutz adalah sistem yang lebih mirip sistem dalam konsep komunisme. Mengenai hal ini, Karl Marx pernah berkata bahwa “ideologi dari para pendiri kibbutz sangat dipengaruhi oleh sosialisme dan zionisme. Dasar pendiriannya dipengaruhi oleh dua dasar ideologi ini: pengalaman pahit dengan antisemitisme yag terjadi di diaspora. Mereka juga dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan patriakhalis yang diwarisi dari Eropa Timur. Dari dasar inilah para pendiri kibbutz mempraktikkan di dalam pemukiman-pemukiman mereka. Mereka menganut sistem tidak ada kelas dalam masyarakatnya. Masing-masing dari anggotanya ‘memberikan apa bisa dia perbuat’ dan ‘akan mendapatkan akan apa yang dia perlukan” (Wikipedia)

Memang pada intinya sistem Kibbutz ini sangat kental mewarnai konsep pendidikan Karakter bahwa baik-buruk suatu nilai ditentukan dalam sebuah konsep yang disepakati manusia secara bersama-sama. Jadi Hukum Tuhan tidak berlaku. Persis seperti negara komunis.

Oleh karena itu, sangat wajar sekali jika Profesor Dadang Hawari, dalam dialog dengan saya beberapa waktu lalu, mengatakan betapa hancurnya Amerika Serikat sebagai sebuah negara. Karena perzinahan, homoseks, lesbianisme menjamur dimana-mana atas nama kebebasan melaksanakan Hak Asasi Manusia. Ya hak asasi untuk bebas dari aturan Tuhan.

Lihat Juga : Tokoh Yahudi Yang Merusak Pemikiran (Bag 1)

[sumber;islampos.com]
◄ Newer Post Older Post ►