Jumat, 05 Oktober 2012

Revitalisasi Democratic Partnership


Revitalisasi Democratic Partnership
A Bakir Ihsan ;  Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta, Penerima Eka Tjipta Foundation Fellowship Program Doktoral, Delegasi Indonesia (Indonesia Adviser) Sidang Ke-67 Majelis Umum PBB, New York, 2012
SINDO, 04 Oktober 2012


Ketika berpidato pada acara Indonesia Investment Day di New York Stock Exchange (NYSE), Wall Street, Senin (24/9/2012) Presiden SBY menyinggung masalah demokrasi di Indonesia yang menurutnya gaduh (noisy). Tarik-menarik kepentingan dan ekspresi kebebasan membuat demokrasi bising. 

Menurut Presiden, kegaduhan tersebut merupakan keniscayaan di negara yang sedang belajar berdemokrasi. Bukan kali itu saja Presiden menyebut demokrasi gaduh. Menyambut tahun 2012, misalnya, Presiden mengingatkan para elite politik untuk tidak gaduh. Namun, pernyataan Presiden di hadapan pengusaha-pengusaha besar yang terdaftar di New York Exchange Euronext (NYX) Amerika Serikat kali ini memiliki makna strategis.

Dalam perhelatan dengan tema ”Indonesia’s Rise as Asia’s New Economic Power House: Transformation, Opportunities & Partnership for All” Presiden SBY “memasarkan” Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia. Kegaduhan politik sebagai sebuah keniscayaan dalam demokrasi tidak sepenuhnya menghambat ekonomi Indonesia yang terus tumbuh.

Demokrasi, bagi Presiden, bisa tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi. Indonesia berhasil membuktikan hal tersebut. Hal ini sekaligus mematahkan tesis bahwa demokrasi hanya akan tumbuh di atas ekonomi yang sudah mapan.

Sinergi Ekonomi Politik 

Dalam sejarah republik ini, pertumbuhan ekonomi membutuhkan stabilitas politik. Kegaduhan dianggap sebagai duri yang bisa menghambat investor untuk menanamkan modalnya. Karena itu, pada orde lalu, stabilitas politik disakralkan demi pertumbuhan ekonomi. Secara faktual ekonomi saat itu tumbuh pesat dibandingkan dengan periode sebelumnya yang disesaki oleh politik yang gaduh.

Dalam alam demokrasi, cara-cara represif untuk menekan kegaduhan tidak mendapatkan tempat lagi. Alih-alih stabilitas, kepentingan politik pada titik tertentu menyebabkan konflik dan kekerasan. Tak berlebihan bila Jonathan Haidt secara khusus menelusuri “kegaduhan” akibat politik (dan agama) dalam buku terbarunya, The Righteous Mind, Why Good People Are Divided by Politics and Religion (2012).

Kegaduhan di alam demokrasi dapat ditoleransi sepanjang merupakan bagian dari hak-hak politik kewargaan dan dalam koridor fatsun politik. Namun, secara faktual tak jarang kegaduhan muncul akibat sirkulasi kepentingan elite yang tak beraturan. Kegaduhan terjadi karena lebih mengedepankan kepentingan kelompok daripada kepentingan rakyat banyak.
Fenomena kegaduhan demokrasi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh lenturnya ketaatan terhadap aturan main dan eksklusivitas kepentingan sektoral.

Aturan dibuat sekadar memenuhi tuntutan formal tanpa upaya maksimal untuk menerapkan dan meneladankannya. Bahkan tidak jarang peraturan dan langkah-langkah konstruktif pemerintah dirusak oleh sikap dan perilaku para aparat yang seharusnya menegakkan kebijakan melalui tindak korupsi dan segala bentuk penyimpangan lain.

Inilah agenda yang harus diselesaikan untuk mentransformasikan kegaduhan destruktif menjadi kegaduhan yang produktif dan konstruktif bagi dunia politik. Transformasi tersebut akan berdampak pada semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena transformasi politik yang konstruktif dengan sendirinya akan mengurangi beragam bentuk distorsi dalam bentuk korupsi dan segala bentuk deviasi dan kegaduhan (hambatan) lain.

Kongsi Demokrasi 

Pernyataan Presiden SBY terkait “politik gaduh” di atas secara tidak langsung mengakui adanya kaitan efek kegaduhan terhadap aspek kehidupan lainnya, termasuk bidang ekonomi. Politik tak bisa dipahami sebagai politik semata. Begitu juga ekonomi, tak bisa ditelaah sebagai ekonomi semata.

Kegaduhan di bidang politik, begitu juga kegaduhan lain, berdampak baik secara langsung maupun tidak terhadap aspek kehidupan lainnya. Karena itu, masing-masing aspek sejatinya berkorelasi positif atau bersinergi dalam sistem demokrasi. Kenapa demokrasi? Demokrasi merupakan jalan yang memungkinkan setiap elemen berdiri sejajar (equal) dalam sinergi. Ini berlaku pada semua tingkat kehidupan, baik pada level nasional maupun internasional.

Relasi antarnegara merupakan keniscayaan di tengah globalisasi tanpa harus menghilangkan identitas kenegaraan, apalagi mendiskriminasinya. Begitu juga kebebasan dalam demokrasi. Kebebasan merupakan hak setiap orang tanpa menghilangkan kebebasan orang lain. Inilah yang ditekankan Presiden dalam upaya memperkuat relasi demokrasi antarnegara maupun dalam kehidupan bernegara.

Dalam wawancara dengan televisi CNBC, 24/9/2012, Presiden SBY memperjelas posisi Indonesia melihat kecenderungan kekerasan (kegaduhan) yang terjadi belakangan ini terkait dengan penistaan agama. Menurut Presiden setiap orang punya kebebasan berbicara maupun mengekspresikan aspirasinya. Namun kebebasan itu tidak tak terbatas. Ia terbatasi oleh kebebasan orang lai
n. Kebebasan, sebagaimana dalam Declaration of Human Right, Pasal 29, “...to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others.”

Kebebasan yang mengancam kebebasan orang lain akan berujung pada diskriminasi dan konflik yang bisa mengancam demokrasi. Karena itu, democratic partnership (kongsi demokrasi) yang semakin mengglobal saat ini seharusnya memberi dampak positif bagi terciptanya kesetaraan, keadilan dan perdamaian. Kemiskinan, konflik, dan diskriminasi yang terjadi baik pada tingkat global maupun nasional, menurut Joseph E Stiglitz (2012) merupakan konsekuensi logis dari hilangnya kesetaraan (inequality).

Dengan berpijak pada logika Stiglitz tersebut, demokrasi yang berhasil mewujudkan kesetaraan (equality), akan menjadi jalan lapang bagi ekonomi yang menyejahterakan semua. Di sinilah demokrasi dan ekonomi bisa tumbuh bersama. Semoga.
◄ Newer Post Older Post ►