Jumat, 12 Oktober 2012

Pemilukada Tidak Langsung


Pemilukada Tidak Langsung
Taufiq Hidayat ;  Anggota Komisi II DPR-RI Fraksi Golkar
REPUBLIKA, 11 Oktober 2012


Yang menarik perhatian dari beberapa rekomendasi Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama PBNU 14-17 September di Cirebon adalah pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) secara tidak langsung. Kepala daerah diusulkan untuk dipilih oleh DPRD, kembali seperti pada masa sebelum era reformasi. Isu ini semakin hangat dan relevan, mengingat di Badan Legislatif (Baleg) DPR RI sedang dibahas RUU Pemda yang dipilah, meliputi RUU Pilkada dan RUU Desa.

Alasan yang diberikan oleh Munas tersebut adalah pemilukada langsung dapat menimbulkan maraknya politik uang yang dapat merusak moral politik bangsa, menyedot biaya besar, serta rentan konflik horizontal dan tidak sesuai dengan Pancasila. 
Pemilukada langsung yang tujuan awalnya diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih aspiratif, dalam perjalanan pelaksanaannya jauh panggang dari api.

Bila kita perhatikan perjalanan pemilukada langsung hingga hari ini, secara cepat kita mungkin bisa memahami mengapa Munas Alim Ulama PBNU mengeluarkan rekomendasi mengenai perlunya pelaksanaan pemilukada tidak langsung. Uraian rekomendasi Munas Alim Ulama PBNU tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.

Pertama, meski rumit dibuktikan, politik uang adalah rahasia umum yang kerap kali terjadi selama pra dan saat pemilukada berlangsung. Dalam jangka panjang, politik uang ini, akan merusak sendi-sendi moral politik kepemimpinan bangsa. Karena, yang akan terjadi tentu saja terpilihnya kepala daerah dengan kekuatan uang di belakangnya.

Pemilukada langsung menyedot biaya besar. Alasan kedua yang dikemukakan Munas Alim Ulama PBNU ini adalah fakta riil. Selama proses pemilukada langsung dilaksanakan, dana APBD yang dipergunakan bisa sampai ratusan miliar rupiah. Belum lagi bila pemilukada berlangsung dua putaran. Maka, dana APBD yang dikeluarkan bisa dua kali lipat.

Selanjutnya, pelibatan langsung rak yat sebagai pemilih menimbulkan kerentanan bagi munculnya konflik horizontal. Seperti yang terjadi di beberapa daerah, konflik massa pendukung pasangan calon kepala daerah telah menjadi tren yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Konflik yang melibatkan massa pendukung dan simpatisan pasangan calon tertentu itu bisa meluas menjadi konflik horizontal yang akut.

Lebih jauh, menurut rekomendasi Munas Alim Ulama PBNU, pemilukada langsung tidak sesuai dengan Pancasila karena Pancasila menganut sistem musyawarah mufakat. Maka, sistem pemilihan langsung melalui cara voting bertentangan dengan prinsip demokrasi Pancasila.

Berdasarkan alasan-alasan yang diberikan oleh rekomendasi Munas Alim Ulama PBNU di atas, yang bisa dinilai relevan adalah alasan mengenai biaya tinggi dan ketidaksesuaian dengan sistem demokrasi Pancasila. Sementara itu, alasan mengenai politik uang dan konflik horizontal bisa jadi kurang relevan.

Pada pemilukada tidak langsung, bisa jadi kekuasaan kembali menjadi oligarki karena sistem pemilihan melalui DPRD akan mengembalikan kekuasaan politik kepada partai politik; kepada kekuasaan elite politik. Oleh karena itu, kualitas kepemimpinan bisa saja masih menyisakan tanda tanya besar. Sebab, baik melalui pemilukada langsung atau pun pemilukada tidak langsung, keduanya sama-sama menghasilkan kepemimpinan kekuasaan uang.

Dampak kerusakan moral politik bangsa dalam konteks politik uang sepertinya dapat dihindarkan bila kesadaran memilih masyarakat berorientasi memilih kepemimpinan yang sejati. Serta, bila partai politik telah mampu membedakan antara bekerja untuk partai politik dan negara.

Pemilukada langsung maupun pemilukada tidak langsung akan menyisakan konflik horizontal yang meluas bila mas sa pendukung pasangan calon kepala daerah membawa persaingan ke arena di luar aturan main. Konflik ini biasanya rentan terjadi usai pemilihan berlangsung. Sebenarnya, bila ditengok konflik horizontal yang terjadi terkait pemilukada, daya cegahnya terletak pada pasangan calon kepala daerah beserta elite-elite politik yang menyertai di belakangnya.

Di tengah -meminjam ungkapan Victor W Turner (Edith Turner, 1990) ketidakkeruan negara karena limbung (state liminality as a limbo) saat ini, peran organisasi masyarakat, seperti NU dan Muhammadiyah dalam mencegah kebiasaan politik uang serta konflik horizontal selama ini sangatlah signifikan. Oleh karena itu, seperti diteliti Alfred Stepan dan Juan Linz (1996), serta Larry Diamond (1997), peran organisasi masyarakat sipil dalam proses demokratisasi dan kontrol politik untuk penciptaan good governance dan clean government dalam arena politik tak bisa diremehkan.
Rekomendasi Munas Alim Ulama PBNU mengenai pemilukada tidak lang sung ini tidak serta-merta bisa dinilai telah melenceng dari amanat Reformasi 1998 dan demokrasi. 

Namun, rekomendasi tersebut dapat dijadikan pertimbangan faktual serta nasihat berharga mengenai penilaian ter hadap efektivitas proses pelaksanaan pemilukada langsung dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. ● 
◄ Newer Post Older Post ►