Minggu, 14 Oktober 2012

Multifaktor Agresivitas


Multifaktor Agresivitas
Widiastuti Samekto ;  Spesialis Saraf, Dosen Program Pascasarjana
Fakultas Kedokteran Undip
SUARA MERDEKA, 13 Oktober 2012



SUNGGUH memprihatinkan melihat eskalasi kasus tawur antarsiswa dan antarmahasiswa, belakangan ini. Bentrok antarmahasiswa di kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) menyebabkan dua mahasiswa tewas (SM, 12/10/12). Sebelumnya, tawur antarsiswa SMA di Jakarta juga menelan korban jiwa.  

Terasa lebih memprihatinkan tatkala pelaku tawur di Jakarta yang menewaskan korban mengaku puas tapi menyesal tatkala ditanya Mendiknas M Nuh. Mengapa kejadian itu selalu berulang, dan tidak adakah cara tepat untuk menghentikannya, tanpa memasung kedinamisan jiwa remaja mereka?

Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa riwayat paparan terhadap kekerasan bisa memengaruhi kondisi emosi dan perilaku seseorang ke arah agresivitas (Scarpa, Luscher 2000). Perilaku agresif secara umum bisa kita jumpai pada seseorang dengan reaktivitas fisiologis yang meningkat.

Namun dalam kasus tertentu, agresivitas bisa kita jumpai pada seseorang dengan reaktivitas fisiologis yang justru menurun, atau bahkan tumpul. Yang termasuk tipikal ini adalah orang yang terlihat ''jinak'' di mata banyak orang tetapi berubah menjadi sangat berbahaya setelah dihadapkan pada perilaku menantang atau keadaan kacau. Orang dengan tipe seperti itu bisa berubah menjadi agresif yang tak terkendali karena sinyal hambatan di otak yang terlalu rendah (Hasting dkk 2007).

Melihat agresivitas di luar takaran, sebagaimana kita lihat dalam tawur antarpelajar dan antarmahasiswa yang menelan korban jiwa padahal pelaku terlihat ''biasa-biasa saja'', seyogianya kita perlu membedah latar belakang kehidupan pelaku. Bagaimana tipe kepribadian, situasi keluarga, kondisi sosial ekonomi keluarga dan lingkungan, yang kait-mengait.

Tayangan televisi yang memperlihatkan kekerasan akan mengaburkan batasan antara baik dan buruk buruk bila anak menonton tanpa pendampingan yang memadai dari orang tua. Sangat dimungkinkan ketidakhadiran orang tua karena sibuk bekerja, atau memang harus meninggalkan anak terkait pekerjaannya. Realitas itu menakibatkan keminiman, bahkan kenihilan sentuhan kasih sayang terhadap anak.

Keluarga broken home bisa menghadirkan stressor berat terhadap anak. Contoh, seorang ayah yang berperilaku keras, dan juga kasar, secara tidak langsung akan memberi contoh perilaku agresif kepada anak. Perilaku itu bisa saja muncul karena si ayah mengalami tekanan hidup yang berat.

Beban pendidikan di sekolah atau kampus bisa saja menjadi beban berat bagi siswa atau mahasiswa. Semua tekanan bawah sadar ini mudah sekali muncul ke permukaan hanya lewat pemicu kecil, dan akan termanifestasikan dalam perilaku agresif yang menakutkan. Dalam kondisi itu orang tua atau orang terdekat merasa heran bagaimana mungkin anak yang sehari-hari terlihat baik dan santun berubah brutal atau agresif.

Seyogianya anak dibiasakan berperilaku baik, dengan pengendalian diri yang baik pula melalui tuntunan orang tua. Otak mempunyai kemampuan belajar dan berkembang, yang disebut neuroplasticity atau plastisitas saraf. Otak akan mencatat dan mempelajari kebiasaan apapun, dan dalam situasi yang relevan kebiasaan atau perilaku itu bisa kembali dimunculkan.

Berbasis Keluarga

Orang tua atau guru bisa menularkan kebiasaan atau perilaku baik dan penuh kasih sayang. Yang sangat jarang disebut-sebut adalah orang bisa saja kekurangan nuansa rasa sayang atau perhatian (care). Rasa itu hanya bisa diperoleh apabila ia dekat secara batin dengan orang tua. Bila terpisah jauh secara fisik, rasa itu bisa dipupuk lewat komunikasi intens, semisal lewat peranti telekomunikasi.

Dalam konteks ini, orang tua, keluarga, sekolah, kelompok murid, organisasi, dan sebagainya dapat mengambil peran masing-masing. Hal itu dengan mendasarkan dalil bahwa orang tua yang keras di rumah akan memberi contoh perilaku keras bila si anak menghadapi keadaan tertentu. Anak dalam satu kelompok pertemanan (peer group) juga bisa mendapat contoh buruk bila ada figur dekat yang dominan berperilaku buruk.

Masalah yang terkait dengan cinta atau kasih sayang memang harus dimulai dari keluarga, sejak anak masih kecil. Manifestasi perilaku seseorang punya rangkaian lintasan impuls khusus yang multikompleks di otak. Setelah melewati masa pendidikan atau pembelajaran, yaitu sejak bayi,  kanak-kanak, hingga dan remaja, lintasan impuls itu menjadi pola yang terprogram.

Tak mudah menghilangkan kecenderungan tawur antarsiswa dan antarmahasiswa mengingat banyak faktor penyebab yang melingkupi, kait-mengait. Menjadi sia-sia bila masing-masing pihak saling menghakimi. Akan lebih baik bila semua pihak introspeksi untuk merencanakan sesuatu yang menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik.

Kita tidak bisa mencapai kondisi itu secara instan. Sesuatu hal yang kompleks faktor penyebabnya pasti butuh waktu lebih lama untuk menuju proses integrasi. Bagaimanapun, kita berharap ada perhatian yang lebih serius dan konkret dari semua pihak. ●

◄ Newer Post Older Post ►