Minggu, 07 Oktober 2012

Mengorupsi Ibadah Haji


Mengorupsi Ibadah Haji
Hasibullah Satrawi ;  Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam pada Moderate Muslim Society (MMS), Jakarta
MEDIA INDONESIA, 06 Oktober 2012


Mereka yang melakukan ibadah haji/umrah dengan menggunakan uang hasil korupsi tak ubahnya orang mandi dengan menggunakan air kotor. Mereka tidak akan pernah bersih, berapa kali pun mandi dengan air kotor tersebut."

JEMAAH haji Indonesia mulai berangkat menuju Tanah Suci, Mekah AlMukaromah. Bagi umat Islam pada umumnya, pergi ke Tanah Suci untuk berhaji merupakan ibadah paling ‘mewah’ sekaligus paling mahal.

Hal itu tidak semata-mata disebabkan ibadah tersebut membutuhkan modal finansial yang cukup banyak. Lebih daripada itu, ibadah haji sarat dengan pesan-pesan sosial. Salah satunya ialah pesan antikorupsi.

Setidaknya ada tiga pesan antikorupsi yang dapat diambil dari ibadah haji. Pertama, orang yang melaksanakan ibadah haji dilarang melakukan bentuk keburukan apa pun. Alih-alih melakukan keburukan seperti korupsi, perdebatan dalam bentuk katakata pun dilarang keras bagi seseorang yang melakukan ibadah haji (QS Al-Baqarah: 197). Dengan demikian, orang yang melakukan ibadah haji sesungguhnya terkondisikan untuk meninggalkan segala macam keburukan, terutama korupsi.

Kedua, orang yang melakukan ibadah haji diwajibkan menggunakan sehelai kain putih yang biasa dikenal dengan istilah pakaian ihram. Dengan menggunakan sehelai kain itu, ibadah haji telah memangkas pelbagai macam atribut sosial yang membuat umat manusia hidup dalam pelbagai macam kelas dan pengotakan sosial; miskin dan kaya, sipil dan militer, hitam dan putih, pejabat dan rakyat biasa, dan begitu seterusnya.

Hal yang tak kalah penting ialah sehelai kain ihram semestinya menyadarkan umat manusia bahwa tidak ada yang bisa lepas dari pengetahuan Tuhan, sekecil apa pun kejahatan yang dilakukan dan di mana pun kejahatan itu dilakukan (walaupun di ruangan yang paling sempit nan sesunyi sekalipun). Sangat mudah bagi Tuhan untuk mengetahui semua perbuatan manusia, jauh lebih mudah daripada jemaah haji yang hendak melepaskan pakaian ihramnya.

Ketiga, orang yang melakukan ibadah haji dilarang keras menyakiti dan menzalimi orang lain. Alih-alih menzalimi orang lain, menjatuhkan sehelai rambut secara sengaja pun terlarang bagi mereka yang melakukan ibadah haji.

Bila tetap melakukan pelanggaran tersebut secara sengaja, jemaah haji harus menggantinya dengan materi yang tidak sedikit. Sangat disayangkan, sebagian jamaah haji kerap memahami bahwa sejumlah ajaran tadi hanya berlaku dalam keadaan mereka sedang melakukan ibadah haji di Tanah Suci.

Dengan kata lain, ajaranajaran luhur dalam ibadah haji seperti itu senantiasa tidak dianggap sebagai kewajiban juga untuk dilaksanakan di rumah masing-masing. Suasana suci yang terbangun selama pelaksanaan ibadah tersebut kerap berakhir semenjak mereka meninggalkan Tanah Suci menuju rumah masing-masing.

Korupsi Terhadap Ibadah Haji

Inilah yang saya sebut sebagai praktik korupsi terhadap ibadah haji. Disebut demikian karena ibadah haji sesungguhnya sarat dengan pesan-pesan sosial dan moralitas untuk kehidupan nyata (di samping sebagai sebuah kewajiban secara ritual). Namun karena praktik korupsi, ibadah haji kerap tidak mampu menciptakan perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat luas.

Padahal, jutaan umat Islam setiap tahun senantiasa melakukan ibadah haji dengan segenap ajaran-ajaran luhur yang terdapat di dalamnya, termasuk mereka yang berasal dari Indonesia.

Tentu, praktik mengorupsi ibadah haji paling parah ialah para pejabat korup yang melakukan ibadah haji dengan uang korupsi mereka, baik pejabat di jajaran legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Di satu sisi, mereka telah mengorupsi ibadah haji (bila tetap melakukan tindak pidana korupsi setelah melakukan ibadah haji, sebagaimana telah dijelaskan). Di sisi lain, mereka juga menggunakan uang rakyat untuk bisa melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci.

Tak mengherankan bila ibadah haji yang dilakukan pun tidak akan benar-benar 
mampu membersihkan jiwa raga mereka dari pelbagai macam jenis kejahatan, terutama korupsi. Apalagi bila uang yang digunakan untuk melakukan ibadah itu merupakan hasil tindak pidana korupsi (sebagaimana pernah diakui salah seorang pejabat yang melakukan ibadah umrah dengan menggunakan uang hasil korupsi).

Mereka yang melakukan ibadah haji/umrah dengan menggunakan uang hasil korupsi tak ubahnya orang mandi dengan menggunakan air kotor. Mereka tidak akan pernah bersih, berapa kali pun mandi dengan air kotor tersebut.

Berapa kali pun mereka bolak-balik ke Tanah Suci tidak akan mampu menghentikan perbuatan korupsi, sebab air kotor tidak akan mampu membersihkan sesuatu yang kotor. Kotoran yang ada jus tru akan semakin tersebar ke mana-mana.

Pengalaman Pribadi

Penulis mempunyai pengalaman pribadi terkait dengan pembahasan ini. Pada kisaran 2003 lalu, penulis menjadi salah satu tenaga mahasiswa, Kairo, Mesir, yang ditugaskan untuk membantu jemaah haji di Tanah Suci. Tenaga honorer yang dijatahkan kepada para mahasiswa Indonesia di luar negeri itu (sesuai porsi masing-masing) biasa dikenal dengan istilah temus (tenaga musiman haji).

Ada sedikit gejolak di kalangan tenaga musiman haji dari mahasiswa saat itu, terutama mereka yang bertugas di lapangan (bukan di perkantoran). Gejolak tersebut berawal dari ketidakpuasan kawan-kawan mahasiswa lantaran honor harian mereka dipotong sekian persen. Kawan-kawan mahasiswa berpandangan honor itu semestinya diberikan secara penuh.

Namun, pemerintah (melalui perwakilannya di Jeddah) beralasan pemotongan itu dilakukan sebagai pajak untuk negara. Keputusan pemerintah itulah yang harus diterima temus dari mahasiswa hingga masa tugas berakhir.

Beberapa bulan setelah bulan haji berlalu, menteri agama saat itu menyindir kawan-kawan mahasiswa yang mempersoalkan pemotongan honor di Tanah Suci. Menteri agama menyebut kawan-kawan tersebut sebagai mahasiswa yang tidak berakhlakul karimah.

Namun sekitar dua tahun kemudian, justru sang menteri agama yang dituduh terlibat tindak pidana korupsi dalam urusan jemaah haji. Menteri agama pun divonis bersalah dan harus menjadi penghuni penjara.

Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda bangsa ini akan segera terbebas dari penyakit korupsi. Ibadah haji harus dijadikan sebagai momentum oleh bangsa ini untuk membersihkan diri dari persoalan-persoalan yang ada, terutama persoalan korupsi.

Para jemaah haji, para pejabat negara di bidang urusan haji, dan siapa pun yang mengimani ajaran tersebut sejatinya berada di garis terdepan dalam memerangi persoalan korupsi dan persoalanpersoalan bangsa yang lain, hingga ajaran-ajaran luhur yang terdapat di balik ibadah haji berkontribusi secara konkret dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ● 
◄ Newer Post Older Post ►