Rabu, 03 Oktober 2012

Melawan Pemandulan KPK


Melawan Pemandulan KPK
Achmad Fauzi  ;  Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan
MEDIA INDONESIA, 03 Oktober 2012


MANUVER DPR untuk menghadang laju kegarangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi di lingkaran kekuasaan menuai hujatan. Masyarakat dan para pegiat antikorupsi menilai rencana DPR melucuti kewenangan substansial KPK, dalam hal melakukan penuntutan dan penyadapan serta tidak mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang legislasi. Karena itu, inisiatif revisi Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK di tengah gejala korupsi yang terus mewabah menjadi tidak relevan.

Wacana mencabut ‘nyawa’ KPK sejatinya dapat dipahami sebagai wujud kepanikan politik. Pasalnya, sumber pembiayaan mesin politik sebagian besar partai selama ini berjalan tidak transparan dan berasal dari sumber yang sukar dipertanggungjawabkan secara hukum. Karena itu, kelompok elite politik merasa khawatir jika ‘dapur’ partai yang mengeluarkan asap pekat korupsi terendus oleh KPK dan satu per satu kader mereka diseret ke meja hijau. Untuk membendungnya, tak ada jalan lain selain melemahkan kekuatan superbodi KPK.

Sebagaimana diketahui, KPK setidaknya menyeret 240 terdakwa kasus korupsi ke penjara. Banyak di antara terdakwa kasus korupsi yang diseret ke penjara adalah anggota DPR dan DPRD. Kegarangan KPK tersebut tak pelak membuat politisi di Senayan panik. Mereka khawatir kegarangan KPK dalam mengungkap aib korupsi di tubuh legislatif tidak bisa dikompromikan melalui jalur politis sehingga merugikan baik secara personal maupun kredibilitas partai politik secara kelembagaan. Mereka semakin hilang harapan ketika KPK menyatakan tidak akan terintervensi oleh partai apa pun dalam menjalankan tugas.

Citra partai kini memang sedang diperjuangkan habishabisan di papan atas untuk terbebas dari stigma korupsi. Partai politik, meminjam istilah Huntington (1968), takut kehilangan magnet politik di tengah masyarakat pada Pemilu 2014. Oleh karena itu, tatkala sinyalemen keterlibatan petinggi partai dalam kasus korupsi semakin menguat, cara pragmatis yaitu memereteli kewenangan KPK.

Arus pemandulan KPK sejatinya bukan hal baru. Sejak pertama kali dibentuk, penggiringan opini publik untuk tidak percaya dan membubarkan KPK, wacana pemaafan koruptor, intervensi politik yang sifatnya memojokkan KPK, parodi saweran untuk membangun gedung KPK serta yang teranyar produk legislasi yang mengebiri kewenangan KPK merupakan amsal betapa KPK kerap mengalami serangan balik koruptor.

Oleh karena itu, kontrol masyarakat dan peran media terus ditingkatkan supaya intervensi kekuasaan politik terhadap hukum tidak terjadi. Ketika politik dengan kekuatannya mampu membelokkan hukum dari cita-cita ideal, hukum bukan lagi menertibkan, tetapi menjadi sumber kejahatan bagi warga.

Kini masyarakat sedang menaruh harapan agar korupsi, khususnya di tubuh Banggar DPR sebagai hulu pembiakan korupsi, diusut tuntas. Bangsa kita sudah lelah dalam ketidakpastian. Korupsi di lingkaran kekuasaan telah membuat negeri ini bangkrut secara moral dan ekonomi. Semua mata rantai koruptor saling sandera. Di antara kader kader politik mengalami penyempitan paradigma, bukan lagi berbicara dalam bingkai kenegaraan, melainkan kepartaian. Semua saling tuding dalam rangka menjaga `kesucian' pamor politik. Oleh karena itu, supaya bangsa ini terselamatkan dari belenggu kasus korupsi yang merusak sistem dan menatanya kembali sesuai asas pemerintahan yang baik, perlu dukungan seluruh komponen bangsa.

Menguatkan KPK

Tak cukup penguatan KPK mengandalkan dukungan publik sebagai elemen eksternal. Di lingkup internal KPK sendiri juga banyak hal yang harus dibenahi.
Sebagai contoh, perekrutan penyidik KPK yang masih berasal dari lembaga kepolisian dan kejaksaan. Independensi mereka sangat rentan terdegradasi, terlebih kasus korupsi pengadaan simulator SIM hingga kini masih terjadi pertentangan kewenangan penyidikan antara kepolisian dan KPK.

Masalah lainnya mengenai intervensi politik terhadap penegakan hukum. Kabar mutakhir menurut Governance Indicator World Bank, supremasi hukum di Indonesia masih digelayuti kabut hitam. Dalam satu dasawarsa ini, demokrasi di Indonesia dan kontrol terhadap korupsi tersandera oleh oligarki politik.

Asumsi itu linear dengan hasil survei LSI baru-baru ini yang menunjukkan persepsi atas kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi yang terjun bebas. Pada Desember 2008, studi LSI menunjukkan 77% kinerja pemerintah baik.

Pada 2009 turun menjadi 59%, 2010 menjadi 52%, dan pada 2011 hanya 44% yang menilai baik kinerja pemerintah. Padahal, jika merujuk data longitudinal LSI sejak awal 2005 hingga 2011, respons dan asa publik sangat besar terkait dengan isu penanggulangan korupsi.

Begitu pula kinerja KPK menurut catatan LSI masih merah. Dari 2008-2010, kinerja KPK dinilai baik pada ren tang 61%-66%. Namun dalam survei terakhir Desember 2011, hanya sebanyak 44% yang masih percaya kinerja KPK baik atau sangat baik. Kredibili tas KPK dan kemauan politik pemerintah sejatinya tidak bisa diba ngun hanya melalui perdebatan validitas survei yang justru menghabiskan energi. Komitmen kerja keras dan keberanian merupakan syarat mutlak untuk mengusut tun tas kasus korupsi kendati di dalamnya banyak bersinggungan dengan kepentingan politik penguasa.

Lihatlah sepanjang 2011, catatan pemberantasan korupsi kelas kakap tidak menunjukkan perkembangan menggembirakan. Bila menilik tiga kasus besar seperti mafia pajak dengan aktor Gayus Tambunan, skandal Bank Century yang membuat negara tekor Rp6,7 triliun, dan kasus suap pembangunan Wisma Atlet dengan aktor Muhammad Nazaruddin, relatif tak ada aktor utama yang diungkap.

Ketiga kasus yang ditunggu-tunggu publik itu menguap begitu saja dan berakhir antiklimaks. Gayus Tambunan menjadi satu dari ‘invisible hands’ tersembunyi yang dijerat hukum, sedangkan atasan dan perusahaan yang memanipulasi pajak tidak terjamah. Demikian pula skandal Century yang hanya mampu menangkap pemain pinggiran. Hingga kini, kasus itu bahkan timbul-tenggelam.

Ketiga kasus besar itu selayaknya menjadi referensi bagi KPK terkait dengan penanganan skandal besar. Menjadikan aturan hukum sebagai satu-satunya senjata untuk menumpas oligarki korup tentu tidak cukup. Diperlukan desain politik ketatanegaraan yang mampu menumbangkan kepentingan politik kepartaian. Politik ketatanegaraan bertumpu pada persenyawaan komitmen unsur eksekutif, legislatif, yudikatif, dan komponen civil societysehingga semua komponen bersinergi dan memiliki perspektif yang sama dalam memandang korupsi berikut bahaya-bahayanya. ● 
◄ Newer Post Older Post ►