Rabu, 10 Oktober 2012

KPK, Brotoseno, dan Novel


KPK, Brotoseno, dan Novel
Muhadjir Effendy ;  Dosen Universitas Negeri Malang;
Rektor Universitas Muhammadiyah Malang
JAWA POS, 10 Oktober 2012


SEJAK Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk sekitar sembilan tahun lalu melalui UU No 30 Tahun 2002, sebagian besar rakyat Indonesia pasti tidak banyak tahu tentang mekanisme dan detail organisasi tersebut. Saya termasuk salah seorang di antara sebagian besar rakyat itu, yang tahu KPK dan sepak terjangnya sebatas dari membaca berita.

Akhir 2011, ada berita bahwa salah seorang penyidik KPK dikembalikan ke asal tempat tugasnya, yaitu Mabes Polri. Diduga, si penyidik itu punya hubungan dekat dengan calon tersangka korupsi yang ditangani KPK. Salah seorang Wakil Ketua KPK Kang Busyro Muqoddas di hadapan wartawan menegaskan bahwa si penyidik tersebut sejak awal tidak dilibatkan dalam pemeriksaan perkara-perkara yang berkaitan dengan si calon tersangka.

Dari berita itu, muncul dua hal yang mendua di benak saya. Pertama, bagaimana bisa tenaga penyidik KPK, lembaga yang menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia dalam memerangi korupsi, ternyata berasal dari institusi lain. Kalau penyidik ibarat alutsista (alat utama sistem persenjataan), itu berarti KPK telah menggelar perang besar melawan korupsi dengan alutsista pinjaman. Termasuk, meminjam dari institusi yang mungkin menjadi sasaran operasi.

Kedua, saya menaruh hormat atas begitu kehati-hatian KPK, sehingga ada penyidik yang ditengarai memiliki hubungan kedekatan dengan calon tersangka. Solusinya tidak cukup hanya tidak melibatkan yang bersangkutan dalam pemeriksaan perkara, tapi juga ''dikembalikan'' (mungkin eufemisme dari ''dikeluarkan'') ke instansi semula.

Jumat Pahing malam, 5 Oktober, dari wilayah RI yang jauh dari pusat kekuasaan, saya melihat berita di TV, terjadi kehebohan di gedung KPK. Sejumlah aparat kepolisian hendak menangkap seseorang yang menjadi tenaga penyidik di KPK. Dia adalah seorang perwira polisi yang dianggap bertanggung jawab atas suatu perkara tatkala masih aktif berdinas di Polda Bengkulu delapan tahun lalu. Pimpinan KPK dan beberapa elemen masyarakat berusaha mencegahnya. Untuk tidak menafsirkan sendiri kejadian itu, saya berpegang pada kesimpulan Presiden SBY. Dalam pidatonya (8/10/2012), SBY melukiskannya sebagai ''insiden rencana elemen Polri untuk menegakkan hukum atas seorang perwira Polri yang diduga melanggar hukum beberapa tahun lalu''.

Atas insiden tersebut, kali ini Wakil Ketua KPK Mas Bambang Widjojanto membuat keterangan pers. Kalau saya tidak salah, selain menganggap kejadian tersebut adalah upaya kriminalisasi KPK, Mas Bambang menegaskan bahwa penyidiknya yang berpangkat kompol itu berperan sebagai penyidik utama kasus simulator SIM versi KPK yang perkaranya sedang diperebutkan dengan pihak Polri.

Mencermati dua kejadian tersebut, saya jadi bertanya-tanya, kenapa dalam kasus si penyidik diduga mempunyai hubungan dekat dengan calon tersangka langkah antisipasinya adalah mengeluarkan yang bersangkutan dari jajaran penyidik KPK? Sementara itu, dalam kasus simulator SIM yang menyangkut institusi kepolisian, salah seorang penyidiknya justru seorang polisi? Apakah hubungan cinta itu lebih berbahaya dibanding hubungan korps? Apakah KPK tidak memperhitungkan efek esprit de corps yang hidup di institusi Polri? Di sana ada kapasitas moral yang harus dipegang teguh setiap personel dan bila dilanggar bisa dianggap sebuah pengkhianatan. Yaitu, secara internal di antara mereka ada hubungan hierarki yang ketat. Ketika berhadapan dengan pihak lain, mereka harus memiliki rasa harga diri dan kehormatan bersama.

Perkara yang berkaitan dengan esprit de corps tersebut menjadi kian absurd dalam penanganan perkara simulator SIM yang diduga melibatkan polisi berpangkat inspektur jenderal (irjen), yang untuk itu KPK menempatkan penyidik pinjaman dari Polri berpangkat kompol. Itu berarti sang irjen akan diperiksa oleh orang yang pangkatnya empat tingkat di bawahnya. Kalau itu terjadi, memang luar biasa. Sudah begitu jauhkah kita menggunakan ''surplus kebebasan'' (istilah SBY) sampai-sampai tidak diperlukan lagi fatsoen demi atas nama perang melawan korupsi? Ini yang benar kriminalisasi KPK ataukah penistaan institusi Polri?

Dua kejadian yang berbeda tersebut, sebagaimana pembaca ketahui, melibatkan dua pelaku yang sama-sama polisi berpangkat kompol, yaitu Brotoseno dan Novel Baswedan. Keduanya sama-sama dipinjam sebagai penyidik KPK tapi mendapat perlakuan berbeda. Brotoseno dikembalikan ke Mabes Polri karena akhirnya memang terbukti menjalin kasih dengan tersangka korupsi dan si kekasih, Angelina Sondakh, akhirnya memang menjadi terdakwa.

Sebaliknya, Novel Baswedan telah dibela mati-matian oleh pimpinan KPK tatkala hendak dijemput paksa oleh kesatuannya. Mungkin kisah Brotoseno-Angie akan masih berlanjut bak kisah dalam novel, sedangkan Novel adalah perwira polisi yang berhasil menunjukkan kapasitas moralnya secara kesatria, terlepas orang setuju atau tidak atas pilihannya. Mungkin Novel juga masih akan berurusan dengan tuduhan yang diarahkan kepada dirinya yang berpotensi menimbulkan konflik baru KPK versus kepolisian. Karena itu, Broto dan Novel masih mungkin ikut meramaikan haru biru ''polibrity'' Indonesia ke depan.

Melihat hambatan dan tantangan yang begitu berat, insya Allah sebagian besar masyarakat maklum jika seandainya apa yang dijanjikan Daeng Abraham Samad ketika seleksi calon pimpinan KPK nanti tidak semua terpenuhi. Daeng dan kawan-kawan KPK sudah berusaha dan bekerja amat keras, bahkan nekat. Mudah-mudahan revisi UU No 30 Tahun 2002 segera dilaksanakan dengan niat sungguh-sungguh untuk memperkuat KPK. Termasuk, mengatur pengadaan tenaga penyidik sendiri dengan jumlah yang memadai. Amin. ●
◄ Newer Post Older Post ►