Jumat, 05 Oktober 2012

Kesantunan Beragama


Kesantunan Beragama
Said Aqil Siradj ;  Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
SINDO, 05 Oktober 2012


Mimpi indah tentang bangsa yang adil dan damai di negeri kita ternyata masih angan-angan. Kita jadi makin miris dengan kondisi negara kita saat ini yang masih terus didera kekerasan termasuk yang berlabel keagamaan.

Seolah-olah negeri kita ini lahan subur mekarnya kekerasan. Ini juga melayangkan paradoks tentang negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pembantaian massal, perusakan atas nama agama, dan jihad yang salah kaprah rupanya telah melumuri wajah Indonesia kita. Selama ini ada satu rumusan yang tampak mengerikan.

 Ketika penegakan hukum (law enforcement) payah, masyarakat pun akan terpuruk ke dalam rasa frustrasi dan anomi sosial yang mudah disentil naluri kebinatangannya untuk kemudian berbuat kekerasan. Akhirnya, mereka mudah melakukan pembantaian sekalipun pada pencuri kelas teri. Demi sesuap nasi, seseorang akan tega mencuri, memalak, merampok, membunuh, dan melakukan kekerasan.

Kesantunan 

Betapapun ada jamaah yang dipandang sebagai jahiliyah fil aqidah (salah secara akidah), tetapi tidak lantas melakukan penghakiman secara anarkistis. Justru tindakan anarkistis akan dimasukkan kategori sebagai jahiliyah fi al-akhlaq (salah secara moral). Dalam hal ini perlu dikedepankan dakwah bil hikmah. Nabi Muhammad telah meneladankan banyak perbuatan terpuji (akhlaq al-ahmudah). 

Dengan sifat santunnya, Nabi justru telah membuat mereka yang sebelumnya musuh kemudian menjadi sahabat. Pernah suatu saat Nabi Muhammad ingin bersikap lebih keras dalam menjalankan dakwah, namun ia langsung ditegur dengan turunnya sebuah ayat Alquran: ”Apakah Kamu akan memaksa orang untuk jadi Islam”. Pernah pula suatu saat Nabi Muhammad merasa putus asa, ia juga disalahkan dengan turunnya sebuah ayat yang terjemahan bebasnya: ”Apakah Kamu akan menghancurkan dirimu sendiri karena kecewa orang tak percaya Alquran”.

Dalam sejarah umat Islam, kekerasan yang dilakukan oleh beberapa kelompok ternyata malah menghancurkan kelompok itu sendiri. Penolakan terhadap kekerasan merupakan pesan dan nilai-nilai islami yang adiluhung. Hal ini juga berakar kuat dari petunjuk Alquran yang menyatakan bahwa pembunuhan tidak adil terhadap seorang manusia setara dengan pembunuhan seluruh umat manusia.

Karena itu, membunuh orang karena alasan beda keyakinan berarti sama dengan membunuh muslim sebab mereka makhluk Tuhan. Membakar gereja sama dengan membakar masjid karena semua itu diberikan Tuhan untuk mendukung kehidupan manusia.

Konsensus 

Konsensus umat Islam bahwa Indonesia merupakan bentuk final dan merupakan konkretisasi ajaran Islam, tentunya tidak sekadar slogan belaka. Kita telah menerima demokrasi sebagai pilar bagi tegaknya kedamaian dan kenyamanan bangsa Indonesia. Demokrasi dan pluralisme menjadi simpul perekat kemajemukan dan keragaman bangsa kita.

Keragaman bukanlah sebagai pembelah, melainkan sebagai pemersatu dalam konstruksi “Bhinneka Tunggal Ika”. Merebaknya kasus-kasus kekerasan di Tanah Air menunjukkan masih keringnya rasa kebersamaan serta kian longgarnya ikatan kekeluargaan (ukhuwwah) antar sesama anak bangsa. Begitupun masyarakat tampak sangat mudahnya melakukan pertikaian dan kekerasan berlabel agama.

Di lingkungan internal umat Islam sendiri, perselisihan antarkelompok masih terus saja muncul dan ini seringkali meluap dalam bentuk kekerasan massa. Malah kelompok Islam tertentu sering memancing situasi untuk melakukan kekerasan. Apa yang seringkali dislogankan dengan ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah, belum maksimal terwujud dalam tindakan nyata.

Islam adalah manhajul hayah (jalan hidup nyata), bukan din al-maut(agama kematian). Dalam nomenkaltur fikih disebut al-mashalih al- ’ammah (kemaslahatan bersama). Artinya, dalam merespons dan menyelesaikan persoalan- persoalan kemanusiaan-kemasyarakatan, Islam selalu berpijak pada pendasaran hukum. Sikap mental yang terpuji seperti kasih sayang dan kebersamaan antar umat manusia, perlu diiringi dengan penegakan hukum.

Sifat manusia yang berpotensi merusak (ifsad fi al-ardhi wa safku-ddima’) perlu dikendalikan. Di sini Islam sudah tegas memberikan petunjuk yang tegas (dilalah al-nash). Karena itulah, penting mengedepankan penataan mentalitas melalui penguatan ukhuwwah antaranak bangsa. Ini upaya preventif (ihtiyath) lewat pembangunan spiritual dan mentalitas, di samping pembangunan material di negara kita.

Sudah seharusnya pembangunan mental sekukuh hasrat dalam pembangunan material. Tanpa itu, tidak akan mungkin terwujud equilibrium(tawazun wa al-i’tidal). Keprihatinan kita atas kondisi kekerasan sesungguhnya kepedulian kita terhadap kondisi bangsa ini. Tak ada jalan lain, kecuali kita semestinya menguatkan mentalitas bangsa kita.

Pembentukan mentalitas dengan memperkukuh rasa kebersamaan dan persaudaraan tentu saja perlu ditopang melalui penegakan hukum secara maksimal. Kekerasan dalam bentuk apa pun, struktural maupun kultural, harus segera dihentikan. Akhirnya, kita juga tidak boleh melupakan bahwa ada hal lain yang mesti dikedepankan yaitu keteladanan yang baik (al-matsal al-‘ala) dari para pejabat, ulama, dan tokoh masyarakat.

Seperti kata-kata seorang ulama ahli bahasa, Ibnu Malik: ”Keteladanan adalah yang paling utama. Ucapan tanpa keteladanan tidak akan pernah bisa dipahami.”
 ● 
◄ Newer Post Older Post ►