Selasa, 16 Oktober 2012

Jokowi Perlu ke Tennessee


Jokowi Perlu ke Tennessee
Victor Sihite ;  Wartawan Senior
SINAR HARAPAN, 15 Oktober 2012



Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, hari ini, sah ditetapkan menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Selamat bekerja membangun Jakarta, menciptakan Jakarta baru yang lebih baik, lebih nyaman, lebih makmur seperti dijanjikan selama kampanye. Semoga impian mereka mengisi otak, perut dan dompet warga Jakarta bukan sekadar mimpi di siang bolong.

Namun, seyogianya kedua pemimpin dan tim suksesnya jangan terlalu optimistis dulu. Begitu pula sebaliknya, warga jangan berharap yang berlebihan dulu. Seribu satu masalah Jakarta bukan masalah enteng, tetapi kelas berat semua.

Mulai dari kemacetan lalu lintas yang menghabiskan umur warga, banjir yang tiap tahun menerpa di musim hujan, dan kebakaran serta kesulitan air di musim kemarau, pencemaran air dan udara yang sangat tinggi, dan seterusnya dan seterusnya.

Yang pasti, tidak mudah menyelesaikan masalah-masalah berat itu. Semuanya tergantung pada bagaimana keberhasilan seorang pemimpin bersinergi dengan staf, dengan birokrasi yang dibawahinya, dengan seluruh warga, dan jangan lupa, dengan wilayah tetangga yang dalam hal ini Provinsi Jawa Barat dan Banten, dan juga dengan pemerintah pusat dan DPR.

Salah satu masalah berat adalah kemacetan. Okelah, berat, tetapi dengan menyinergikan ahli-ahlinya, kita yakin masalah ini dapat ditanggulangi sehingga jauh lebih baik dari kondisi yang ada selama ini.

Tulisan ini lebih fokus pada masalah air dan banjir, sekadar sumbang saran dari seorang warga.

Penulis datang ke Jakarta tahun 1950, saat penduduk hanya sekitar 500.000. Seingat penulis, masalah banjir kala itu jarang diberitakan, karena memang tak banyak yang kebanjiran.

Bukannya tidak pernah ada banjir, tetapi luapan air dari 13 sungai yang ada di Jakarta memang parkir di berbagai kawasan yang memang telah disediakan alam untuk itu. Sebut saja Rawamangun, Pulomas, Pulogebang, Cempaka Putih, Sunter, dan Kelapa Gading.

Masalah banjir baru mencuat ke permukaan sekitar tahun 1960-an setelah urbanisasi menggila. Dalam kurun waktu 60 tahun lebih, penduduk Jakarta telah membengkak menjadi 20 kali lipat.

Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Serobot sana serobot sini. Lahan yang bukan peruntukan hunian akhirnya resmi jadi lingkungan perumahan. Sampai-sampai bantaran dan pinggir kali pun penuh dengan gubuk yang serbakumuh.

Fenomena Alam

Mendiang Ir Sutami, yang menjadi menteri pekerjaan umum di masa-masa Orde Baru hingga tahun 1980-an mengatakan, luapan air sungai adalah fenomena alam yang tidak mungkin ditiadakan. Di musim hujan, debit sungai pasti naik, tetapi alam telah diciptakan Sang Maha Pencipta demikian sempurna, dilengkapi dengan cekungan-cekungan bernama danau, situ, rawa, dan sebagainya.

Ke situlah sebagian luapan air sungai parkir dan sebagian mengalir ke laut. Jadi, kawasan yang bernama Rawamangun itu sebagai contoh, yang kini telah menjadi salah satu kawasan elite, dulu adalah tempat parkir luapan air.

Karena sekitar 1950-an hampir tidak ada penghuninya, maka setiap kali jutaan meter kubik air membanjirinya, Rawamangun dan ratusan cekungan lainnya di Jakarta sunyi-sunyi saja, tidak ada yang berteriak minta tolong.

Di masa-masa sibuknya mengurusi masalah banjir tahun 1970-an dan 1980-an itu, penulis masih ingat akan ucapan mendiang Sutami, bahwa sebenarnya manusia itu sendirilah yang salah, kenapa mereka menyerbu cekungan-cekungan alam itu dan menjadikannya sebagai tempat tinggal?

Tetapi, nasi telah jadi bubur. Mereka telah habis-habisan berkorban untuk kebagian tempat di Jakarta, walau hanya kebagian cekungan alam. Mereka telah resmi jadi warga DKI Jakarta, jadi mereka pun harus diurus nasibnya.

Pemerintah lalu menata berbagai kawasan seperti itu sehingga lebih layak huni serta meminimalkan dampak buruk dari banjir itu. Tetapi yang pasti, daerah-daerah itu tetap saja rawan banjir karena memang lebih rendah dari tempat-tempat lain.

Tambahan lagi, perusakan daerah tangkapan air di hulu seputar Puncak, Bogor dan sekitarnya membuat keadaan lebih buruk.

Yang jelas lagi, sudah silih berganti gubernur di Jakarta, tetapi masalah banjir tak pernah selesai. Sadar akan fakta itu, seorang pakar banjir bernama               Ir 
Martsanto, yang juga pernah memimpin Kopro Banjir DKI Jakarta berkesimpulan, banjir memang tidak mungkin ditiadakan, maka tak ada cara lain selain bersahabat saja dengan banjir itu.

Belajar dari Tennessee

Satu hal lagi yang perlu dipertimbangkan. Pak Gubernur – kalau tak ingin pergi sendiri – perlu mengutus staf ahli multidisiplin melakukan studi banding ke Tennessee, negara bagian AS yang dialiri Sungai Mississippi.

Tennessee dahulu adalah negara bagian paling miskin di AS karena selalu kebanjiran. Menurut sebuah buku sejarah Amerika, tak terlepas dari program penanggulangan banjir menyeluruh di Amerika Serikat yang sudah mulai dikembangkan sejak abad ke-19, pada 1934 dibentuk Tennessee Authority Valley. 

Lembaga yang dipayungi UU yang dibuat di Washington itu diberi kewenangan merencanakan dan membangun sistem dan fasilitas pencegahan banjir sekaligus mengoperasikannya.

Demikianlah, otoritas itu pertama-tama melakukan penelitian menyeluruh, termasuk di antaranya menghitung volume air pada musim banjir.

Dengan mengetahui volume air, di sepanjang DAS Sungai Mississippi dibangun sejumlah reservoir yang kapasitas seluruhnya disesuaikan dengan volume air banjir. Fasilitas-fasilitas penanggulangan banjir itu dilengkapi dengan sistem peringatan dini, dan dalam hal ini seluruh warga di sepanjang DAS wajib berpartisipasi dalam sistem peringatan dini tersebut.

Jadi, sewaktu hujan lebat ribuan kilometer di hulu, melalui sistem komunikasi diperintahkan supaya puluhan reservoir sepanjang aliran sungai dikosongkan bertahap dengan memperhitungkan lama perjalanan air dari reservoir yang satu ke reservoir berikutnya.

Setelah reservoir terhulu penuh, isinya didorong menuju reservoir kedua untuk kembali menampung luapan di bagian hulu. Begitu seterusnya. Dengan demikian, badan sungai tidak pernah overloaded.

Setelah sistem pengendalian banjir bekerja baik, dilengkapi dengan pengendalian ketat pemanfaatan lahan secara bertanggung jawab, Tennessee berangsur muncul sebagi negara bagian yang tak kalah makmur dengan tetangga-tetangganya.

Sungai Mississippi menjadi urat nadi perekonomian tempat lalu lalang kapal-kapal sedang mulai dari muaranya hingga ribuan kilometer ke hulu. Itu dimungkinkan oleh bendungan-bendungan yang dibangun secara bertangga di sepanjang sungai.

Kiranya bukan pemikiran seorang pemimpin untuk meniru pendekatan Tennessee dalam menanggulangi banjir di Jakarta dan sekitarnya. Tetapi memang diperlukan payung hukum berupa UU untuk memaksa provinsi-provinsi, kota dan kabupaten-kabupaten terkait bekerja sama saling bersinergi dalam menanggulangi banjir yang setiap tahun selalu jadi momok.

Sama seperti di Amerika Serikat yang sudah memiliki patron nasional penanggulangan banjir, di Indonesia pun tugas itu harus menjadi tanggung jawab semua pihak, mulai dari DPR, DPRD, pemerintah pusat, pemda tingkat I maupun II serta warga sendiri.

Tetapi, harus ada penggebraknya. Untuk itu kita yakin Pak Jokowi dan Pak Ahok mampu menggalang kesehatian dan kesepakatan untuk bersama-sama menanggulangi banjir Jakarta, mulai dari rembukan dengan warga, anjang sana ke tetangga-tetangga, mengetuk hati pemerintah pusat, dan tak ketinggalan meminta DPR menggunakan wewenangnya yang ada padanya untuk membuat undang-undang penanggulangan banjir Ibu Kota.
Akan halnya reservoir-reservoir yang masih dalam bayangan itu, hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga ketika terjadi krisis air di musim kemarau, perusahaan air minum dapat memanfaatkannya. Agaknya, ini akan jauh lebih murah dan praktis daripada harus membangun bendungan di Teluk Jakarta seperti sudah mulai disuarakan.

◄ Newer Post Older Post ►