Sabtu, 20 Oktober 2012

Jakarta Bukan Solo


Jakarta Bukan Solo
Sulardi ;  Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Muhammadiyah Malang
REPUBLIKA, 16 Oktober 2012
 

Pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahyana Purnama (Jokowi-Ahok) telah dilantik sebagai pasangan gubernur dan wakil gubernur pemenang pemilihan Gubernur DKI. Suara resmi yang diperoleh Jokowi-Ahok berjumlah 2.472.130 atau 52 persen. Sedang lawannya, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara), mendapatkan 2.120.815 sua- ra atau 46,18 persen dari jumlah suara sah.
Kemenangan ini mempunyai dua makna bagi Jokowi. Pertama, Joko Widodo yang sempat menjabat sebagai Wali Kota Solo berani nglurug ke Jakarta menantang calon gubenur incumbent dan calon yang lainnya. Walaupun dalam putaran kedua ini lawannya tinggal Fauzi Bowo dan pasangannya namun sesungguhnya Jokowi telah dikeroyok oleh partai-partai besar, seperti Partai Golkar, Demokrat, PAN, PKS, PPP, PKB, dan saya duga juga partai kecil di DKI.
Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan para calon gubernur yang kalah di putaran pertama bahwa mereka mendukung calon gubernur incumbent.
Dalam falsafah Jawa terdapat suatu ajaran terkait dengan kondisi Jokowi ini, yakni nglurug tanpa bala (berperang tanpa bala bantuan).
Ajaran ini tidak persis seperti situasi Jokowi, sebab makna sesungguhnya nglurug tanpa bala itu yang dilawan adalah diri sendiri. Hawa nafsu diri sendiri yang dikalahkan. Siapa pun pasti tidak akan membawa bala bantuan jika berhadapan dengan nafsu diri pribadi. Justru, nglurug tanpa bala ini menjadi bermakna harafiah, saat Jokowi yang datang dari Solo melawan calon gubernur incumbent yang didukung partai besar. Kesaktian Jokowi sebagai kesatria Solo benar-benar diuji di medan pertempuran pemilihan Gubernur DKI.
Ajang Pembuktian
Makna kedua bagi Jokowi menjadi Gubernur DKI 2012-2017 adalah arena pembuktian bagi Jokowi. Selama ini Jo kowi dikenal sebagai Wali Kota Solo yang berhasil, memihak kepada wong cilik tanpa mengabaikan elite, menata pedagang kaki lima dengan tetap membuka keran investor, lebih memopulerkan batik sebagai produk asli Solo sekaligus Indonesia, menata transportasi yang murah dan nyaman, dan yang paling penting dikenal bersih dari korupsi, gratifikasi, maupun suap.
Di Solo, Jokowi berhasil menggunakan pendekatan kerakyatan dan humanis me sehingga dengan cara itu, sejak kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat tahun 2001 lalu, baru Jokowi dan pasangannya yang mampu meraih suara di atas 90 persen untuk pemilihan wali kota periode kedua. Tetapi, kali ini Jokowi yang berpasangan dengan Basuki bertarung di DKI Jakarta, yakni ibu kota negara Indonesia.
Ada banyak hal yang nantinya harus dibuktikan oleh Jokowi. Jakarta bukanlah Solo, yang tidak hanya lebih rumit dibanding Solo. Bahkan, Jakarta lebih rumit dari Indonesia itu sendiri. Kerumitan Jakarta adalah kerumitan yang kompleks, yang kait-mengait. Jakarta adalah rimba raya dengan berbagai karakter manusia yang tinggal di dalamnya. Sehingga, persoalan yang sesungguhnya bukan hanya mengatasi masalah keruwetan berlalu lintas, pengangguran, kemiskinan di kota, kesenjangan, kriminalitas, kemacetan, sam- pah, kekumuhan dan banjir. Bukan itu masalah utamanya.
Masalah yang yang telah dipaparkan di atas selama ini tidak juga terselesaikan baik oleh calon gubernur incumbent pada periode pemerintahan 2007-2012 maupun gubernur-gubernur sebelumnya. Sebab, masalah yang kasatmata itu hanyalah sebagai akibat masalah besar yang selama ini tidak pernah dibicarakan dan direncanakan secara serius untuk diselesaikan.
Masalah besar yang berakibat banjir, pengangguran, kemiskinan, kemacetan, dan lain-lain itu sesungguhnya karena Jakarta telah menjadi muara dari ber- bagai masalah di negara ini. Jakarta itu muaranya pencari kerja, muara para pebisnis, karier militer, pencari peluang untuk dikenal sebagai advokat, polisi, jaksa, hakim, artis, seniman, penyanyi, politisi, pengusaha. Bahkan, bandit dan penjahat itu bisa terkenal jika sudah malang melintang di Jakarta.
Alhasil, apabila Jakarta tetap dibiar- kan sebagai muaranya berbagai profesi dan persoalan itu, Jokowi, bahkan 10 Jokowi pun kewalahan memimpin dan menata Jakarta. Maka, langkah utama yang sebaiknya dilakukan oleh Jokowi setelah resmi menjadi gubernur adalah rembuk politis dengan penguasa negara sekaligus beberapa kepala daerah dengan tema utamanya adalah merelokasi atau memindahkan kedudukan Jakarta tidak lagi sebagai pusat dari berbagai hal itu ke berbagai daerah, baik kota maupun provinsi.
Ibaratnya, rezeki yang mengalir ke Jakarta terlalu berlimpah: sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat hiburan, dan pusat segala urusan. Yang diuntungkan dari melimpahnya rezeki itu bukan DKI, tetapi pemerintah pusat.
Sebab, banyak urusan negara, baik itu bersifat politis, ekonomi, budaya, agama, sosial, dan lain sebagainya, yang berskala nasional ataupun internasional telah menjadi beban Jakarta sebagai sebuah provinsi. DKI justru menampung masalah yang dtimbulkan dari limbah rezeki pemerintah pusat.
Jika Jokowi berhasil meyakinkan penguasa pusat dan beberapa kepala daerah untuk mendistribusikan urusan yang ada di Jakarta ke berbagai daerah maka dapat dipastikan Jokowi akan berhasil menata Jakarta. Tetapi, ini bukan persoalan gampang untuk memindahkan pusat pemerintah, pusat bisnis, pusat perdagangan, dan pusat hiburan ke daerah-daerah lain. Perlu kesediaan pemerintah pusat dan daerah, ketersediaan kota-kota yang memadai, dan perlu waktu yang cukup lama.
Memindahkan sebagian urusan yang ada di Jakarta ke berbagai daerah itu merupakan upaya penting dalam menyelesaikan masalah Jakarta melalui akar persoalannya. Jika tidak maka siap-siap saja dicaci, dimaki, dan ditagih janji yang tak bisa dipenuhinya. ●

◄ Newer Post Older Post ►