Sabtu, 13 Oktober 2012

Bukan Tindakan Luar Biasa!


Bukan Tindakan Luar Biasa!
Hendardi ;  Ketua Setara Institute Jakarta
SINDO, 12 Oktober 2012



Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang penyelesaian ketegangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pada Senin, 8/10/2012, untuk sementara dapat meredam kegaduhan politik penegakan hukum di Indonesia.

Ketegangan antara KPK-Polri merupakan salah satu kegaduhan politik yang lahir dari absennya Presiden SBY, yang secara politik dan konstitusional, memiliki kewenangan untuk mengatasinya dengan segera. Lima solusi yang diambil Presiden SBY adalah aspirasi publik yang selama ini berkembang dalam berbagai forum diskusi, media, dan jejaring sosial terkait upaya melemahkan KPK dengan revisi UU KPK.

Konsolidasi aspirasi publik juga terjadi pada aksi dukungan terhadap KPK sebagai satusatunya lembaga yang berwenang menangani kasus pengadaan alat simulator SIM di Korlantas Mabes Polri.Arus ini semakin kuat dipantik oleh kekeliruan Polri dalam menyikapi penetapan 28 penyidik KPK yang di antaranya terdapat anggota Polri. Upaya penjemputan paksa atas Novel Baswedan menggenapi argumen bagi Presiden SBY untuk bertindak.

Ruang Politik

Sebenarnya,di tengah ketegangan antara KPK dan Polri, kedua lembaga ini telah melakukan politisasi yang diharapkan dapat melimpahkan dukungan publik atas seluruh tindakan dan kebijakan yang diambil oleh masing-masing institusi.Ketegangan itu telah menciptakan ruang politik baru. KPK secara apik telah berpolitik untuk memperkuat eksistensi kelembagaannya. Pascaketegangan ini, KPK telah memetik insentif politik energi publik yang mendukung pemberantasan korupsi.

KPK juga memperoleh kepastian tentang ditundanya revisi UU KPK,mekanisme pengadaan penyidik,dan tentu saja menampilkan diri sebagai lembaga independen kokoh yang kebal intervensi. Sedangkan Polri berpolitik (dengan upaya penangkapan salah satu penyidik KPK) dengan dalih penegakan hukum. Meski dengan kasus yang sumir dan tidak bermutu, langkah Polri diikhtiarkan untuk mencari dan mencuri ruang politik baru untuk menegaskan eksistensi kelembagaannya di tengah ketegangan antara dua lembaga ini. Hanya, cara kerja Polri tidak secerdas KPK.

Akhirnya solusi yang ditawarkan SBY jelas menjadi pukulan bagi institusi kepolisian. Sementara Presiden SBY juga berpolitik di aras yang lebih tinggi. Bertindak sebagai juru runding, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY bermain di ujung masalah dengan menawarkan lima solusi penyelesaian ketegangan antara KPK-Polri. Meski menciptakan demoralisasi bagi Polri, tampak jelas SBY memilih langkah yang memastikan dirinya memetik insentif politik.

Pidato SBY di tengah ketegangan itu jelas merupakan solusi yang diharapkan publik, hadir di tengah kemarahan publik, dan di waktu yang tepat.Maka itu,tidak aneh jika kemudian SBY panen pujian atas pidatonya. Cara penyikapan yang diperagakan Presiden SBY bukanlah yang pertama kali. Dalam banyak peristiwa, di mana Presiden memiliki kewenangan, seringkali justru Presiden absen dan membiarkan peristiwa-peristiwa tersebut mengusik ruang publik sedemikian rupa.

Dengan cara seperti ini, setiap tindakan Presiden akan dianggap sebagai terobosan,jalan keluar, dan pidato yang menyejukkan.Padahal, semua langkah itu harus diambil sejak awal sebelum bergulir meluas dan mengecewakan publik. Pendek kata, tindakan Presiden adalah sesuatu yang biasa saja karena itu menjadi tugas konstitusional Presiden. Karena Presiden bekerja di ruang politik, tindakan biasa menjadi luar biasa sehingga semua lupa bahwa apa yang dilakukan Presiden sesungguhnya kewajibannya yang tertunda. Ruang politik yang tersisa dari ketegangan KPKPolri juga terlihat dari wajahwajah para politisi dan partai yang bermuka dua terkait revisi UU KPK.

Mengikuti arus opini publik yang beredar di ruang publik, para politisi dan pimpinan partai beramairamai mengoreksi langkahnya untuk mendukung revisi UU KPK.Suatu parodi politik yang tidak bermutu karena sesungguhnya draf revisi UU KPK bersumber dari Komisi III yang di dalamnya terdapat fraksi-fraksi yang belakangan menyangkal.

Sisa Masalah

Mengelola ruang publik dan ruang politik adalah salah satu cara mengelola ekspektasi dan aspirasi publik pemegang kedaulatan dalam politik negara. Mengelola ruang publik adalah seni baru dalam berpolitik dan penyelenggaraan negara dewasa ini.Namun,kontestasi di ruang publik yang terlalu berlebihan juga berpotensi melahirkan demoralisasi bagi yang tidak cakap mengelola ruang publik itu.

Dalam konteks ruang publik dan ruang politik yang diciptakan oleh ketegangan KPK-Polri, aparatus dan institusi Polri adalah yang paling tersudut.Demoralisasi kolektif di tubuh Polri sangat potensial terjadi jika kepemimpinan Timur Pradopo gagal menjelaskan segala kebijakan kepolisian kepada para anggotanya. KPK harus diselamatkan dari setiap upaya pelemahan. Tetapi, Polri juga harus dikawal dan dipantau agar menjalankan mandat sesuai UU, bersih,dan akuntabel.

Tekanan terus-menerus kepada Polri bisa menimbulkan efek lanjutan. Selain bersitegang dengan KPK, sesungguhnya Polri sedang mengalami tekanan luar biasa dari pemerintah (melalui TNI dan Menteri Pertahanan) terkait pembentukan RUU Keamanan Nasional yang secara sistemik akan melumpuhkan wewenang Polri dalam penegakan hukum dan sebagai institusi yang bertugas menjaga keamanan nasional. Memastikan KPK yang kuat dan Polri yang bersih tentu saja bukan dengan cara berkontes sebagaimana diperagakan pada kasus pengadaan alat simulator SIM dan soal eksistensi penyidik.

Memperkuat KPK adalah memberikan dukungan kuat bagi kinerja KPK, baik dengan legislasi yang kondusif, penyediaan anggaran memadai, maupun dengan membiarkan orang-orang yang diduga melakukan korupsi disidik dan dimintai pertanggungjawabannya. Sementara untuk menghindari demoralisasi yang terjadi di tubuh Polri,cara yang paling mungkin adalah mendorong reformasi kepolisian secara sungguh-sungguh, termasuk membiarkan dugaan sejumlah jenderal yang korup mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sebagaimana sering disampaikan bahwa korupsi adalah ulah para oknum, bukan institusi Polri. Meskipun secara normatif Presiden SBY telah memberikan solusi, implementasi pidato Presiden akan diuji dengan konsistensi kepemimpinannya yang antikorupsi. Polri sebagai institusi di bawah Presiden akan menjadi variabel tolok ukur kesungguhan dan konsistensi Presiden memimpin pemberantasan korupsi di negeri ini.

◄ Newer Post Older Post ►