Jumat, 12 Oktober 2012

Babak Baru Revolusi Suriah


Babak Baru Revolusi Suriah
Hasibullah Satrawi ;  Pengamat politik Timur Tengah dan Dunia Islam
MEDIA INDOENESIA, 11 Oktober 2012


KETEGANGAN antara Suriah dan Turki bisa menjadi babak baru dalam perjalanan revolusi Suriah. Telah dimaklumi, Turki marah besar terhadap serangan mortir dari Suriah yang menewaskan lima orang dari masyarakat sipil di Akcakale, 3 Oktober lalu. Turki pun langsung melakukan serangan balasan yang dikabarkan juga memakan korban tewas, termasuk dari unsur militer Suriah. Bahkan Turki saat ini telah mendapatkan mandat dari parlemen setempat untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap sesuai dengan perkembangan krisis Suriah-Turki (As-Sharq Al-Awsat, 5/10).

Dalam beberapa hari terakhir, saling serang di antara kedua negara semakin intensif. Ankara mengklaim semua serangan yang dilakukan dalam rangka membela diri dari serangan Damaskus, sedangkan Damaskus justru kerap mengkritik Ankara yang dituduh membuka perbatasannya bagi anasir pejuang asing yang masuk ke Suriah.

Duel Tim Besar

Revolusi di Suriah sudah berumur kurang lebih 18 bulan dengan korban yang terus menggunung. Namun, sejauh ini belum ada penyelesaian komprehensif dan menyeluruh bagi krisis politik yang terjadi, sekaligus dapat diterima semua pihak terkait.

Sementara itu, keterlibatan pihak-pihak asing dalam krisis politik Suriah semakin terang-benderang bagai siang, baik asing dalam konteks regional (seperti Iran, Arab Saudi, Qatar, dan Turki) maupun dalam konteks global (seperti Amerika Serikat dan sekutunya, Rusia, dan China), sesering apa pun pihak-pihak tersebut menampik keterlibatan dalam krisis politik yang terjadi di Suriah saat ini.

Perjalanan revolusi di Suriah memang berbeda dengan revolusi yang pernah bergulir di negara-negara Arab lain dalam setahun terakhir. Salah satunya disebabkan banyaknya pihak asing yang terlibat (lebih pasnya melibatkan diri) untuk memperkuat `jago' masingmasing; rezim Bashar al-Assad bagi Hizbullah (di Libanon), Iran, Rusia, dan China; kelompok revolusi atau oposisi bagi Turki, Qatar, Arab Saudi, dan AS beserta sekutu-sekutunya.

Dalam beberapa kesempatan, penulis kerap menggunakan pertandingan sepak bola untuk menggambarkan apa yang saat ini terjadi di Suriah. Laiknya sepak bola, krisis politik di Suriah melibatkan banyak pihak dengan posisi dan proporsi yang berbeda-beda. Tujuannya sama, yaitu menaklukkan ‘tim lawan’ dengan ‘gol’ sebanyakbanyaknya.
Kini setelah 18 bulan berlalu, pertandingan ‘dua tim besar’ di Suriah saat ini bisa dikatakan masih dalam posisi imbang. Hari demi hari, saling serang di antara kedua pihak terus berlangsung alot di semua lini, mulai dari lini pertahanan, tengah, sayap, hingga penyerang. Bahkan kedua pelatih tim di luar lapangan duel sering terlibat dalam perang pernyataan untuk membela tim masing-masing. Hal yang kurang lebih sama juga dilakukan para suporter yang hanya menyaksikan pertarungan di tribune lapangan atau bahkan dari layar televisi di rumah masing-masing.

Sebagaimana dalam dunia sepak bola, duel tim besar selalu kekurangan jatah wasit yang dianggap bisa menjadi pengadil di tengah lapangan. Hal itu pula yang saat ini kurang lebih juga terjadi dalam krisis politik di Suriah.

Kofi Annan, contohnya, yang pernah ditunjuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Liga Arab untuk menjadi wasit di Suriah, pada akhirnya mengundurkan diri karena merasa tidak mendapatkan dukungan dari pihak-pihak terkait. Adapun Ibrahimi, yang ditunjuk menggantikan Annan oleh PBB dan Liga Arab, masih terlalu diragukan untuk menjadi seperti Annan alih-alih menjadi wasit yang didambakan semua pihak terkait. 

Faktanya, Ibrahimi sampai hari ini hanya bisa menggelar pertemuan demi pertemuan dan mengeluarkan pernyataan demi pernyataan tanpa adanya proposal yang konkret untuk mengakhiri krisis politik di Suriah.

Meski demikian, krisis politik di Suriah bukanlah tontonan atau hiburan seperti halnya sepak bola. Apa yang terjadi di Suriah ialah tragedi kemanusiaan. Masyarakat sipil terus berjatuhan dalam jumlah puluhan bahkan ratusan setiap hari.

Intervensi Turki

Dalam konteks demikian, insiden di perbatasan SuriahTurki sebagaimana telah disebutkan bisa membawa konflik itu pada babak baru, bahkan mungkin juga final. Babak baru ini bisa berawal dari intervensi Turki secara militer terhadap krisis politik yang terjadi di Suriah, sebelum akhirnya melibatkan sekutu AS secara lebih luas, khususnya NATO.

Setidaknya ada dua hal yang sangat mungkin diklaim Turki sebagai alasan legal untuk mengintervensi Suriah secara militer. Pertama, alasan kemanusiaan. Selama ini sekutusekutu AS (tak terkecuali Turki) kerap mendesak rezim Al-Assad untuk segera mundur karena dianggap telah gagal mencegah tragedi kemanusiaan di negaranya sendiri. Apalagi krisis politik di sana sudah memakan korban lebih dari 30 ribu jiwa.

Alih-alih, rezim Al-Assad justru semakin ganas menyerang kelompok revolusi. Hal itu terlihat dari jumlah korban jiwa yang mencapai puluhan atau bahkan ratusan dalam setiap hari. Rezim Al-Assad menggunakan alasan ‘melawan kelompok teroris’ dalam melakukan politik pembantaian kemanusiaan tersebut.

Kedua, alasan membela diri. Sebagai negara tetangga, Turki selama ini kerap terkena imbas negatif dari gejolak politik yang terjadi di Suriah. Bila operasi militer rezim Bashar al-Assad dalam menghadapi kaum revo lusi dapat disebut sebagai mandi untuk membersihkan Suriah dari para pemberontak, Turki-lah yang kemudian menjadi tempat pembuangan air got yang meluncur keras dari Suriah. Apalagi Turki selama ini sudah tiga kali menjadi target operasi dari militer Suriah. Yang terakhir ialah serangan mortir dari Suriah yang membuat lima warga Turki tewas, sebagaimana telah disebutkan.

Sejauh ini Turki tampak sangat geram terhadap Suriah. Selain karena kerap menerima dampak buruk dari krisis yang terjadi di Suriah, juga karena Damaskus dianggap mempermainkan Angkara melalui aksi-aksi para pemberontak Kurdi yang semakin intens dalam beberapa waktu terakhir di negeri sekuler itu.

Kendati demikian, Turki tampak tidak mau `memukul tetangga' dengan tangannya sendiri, setidaknya tidak dengan cara sendirian. Itulah sebabnya Turki kerap mengadukan kejahatan yang dilakukan Suriah kepada sekutu-sekutunya, khususnya NATO. 
Harapannya ialah NATO dapat turun tangan langsung ke Suriah sebagaimana pernah terjadi di Libia. Dengan demikian, sekali melangkah, Turki bisa melampaui tiga sampai empat pulau sekaligus.

Bila benar demikian, tampaknya Turki harus bisa lebih bersabar lagi dalam beberapa minggu ke depan untuk melihat `Suriah yang dikeroyok', mengingat kebatinan politik di internal NATO saat ini tampak berbeda dengan ketika terjadi revolusi Libia yang menyeret negara-negara Eropa (khususnya Prancis) ke barisan terdepan konflik bersama Khadafi. 

Apalagi saat ini AS disibukkan dengan persoalan politik internal dalam rangka menyongsong pilpres pada November mendatang. Itulah kurang lebih pesan tersirat dari pernyataan para petinggi NATO yang menyatakan memahami serangan balasan Turki dalam insiden terakhir dengan Suriah, tapi sekaligus meminta Ankara menahan diri. ● 
◄ Newer Post Older Post ►